x

N. Riantiarno

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 26 Januari 2023 13:28 WIB

Doa Tujuh Hari untuk Mas Nano Riantiarno

Terima kasih, Mas Nano. Di 7 hari kepergian Mas Nano, eksistensi dan esensi yang ditorehkan Mas Nano di kehidupan dunia, sesuai nama Norbertus Riantiarno, telah bermanfaat untuk umat. Dao saya dan kami, kini Mas Nano telah berada di sebuah tempat yang luar biasa bagus, nyaman, adem, tentrem, penuh kebahagiaan di sisi Tuhan. Aamiin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini, tepat 7 hari kepergian Mas Nano Riantiarno. Semoga, seperti doa dalam naskah monolog “Pulang” yang ditulis pada Desember 2020 dan dibawakannya sendiri dalam pentas, tepat di hari ulang tahunnya ke-72, 6 Juni 2021 yang disiarkan lewat saluran YouTube Teater Koma, Mas Nano ditempatkan di sebuah tempat yang luar biasa bagus, nyaman, adem, tentrem, penuh kebahagiaan di sisi Tuhan. Aamiin,

Doa untuk Mas Nano, juga akan terus mengalir dari seluruh orang-orang yang mencintai Mas Nano, orang-orang yang menjadi bagian dalam kehidupan Mas Nano, orang-orang yang menerima manfaat atas ilmu dan pendidikan yang ditularkan Mas Nano, orang-orang yang menikmati karya-karya Mas Nano, hingga nama Mas Nano terpatri abadi sebagai satu di antara Pahlawan Kesenian, Pahlawan Seniman, Pahlawan Budayawan, Pahlawan Teater dan lainnya di negeri ini.

Sesuai namanya, Norbertus Riantiarno, yang dalam beberapa literasi, arti Norbertus adalah seseorang yang memiliki bakat menulis atau seni. Secara alamiah, ia seperti tak pernah lelah sekaligus gigih dibandingkan dengan orang-orang lain. Orang ini menuntut kesempurnaan dalam segala hal dan sangat kritis. Riantiarno berarti orang yang setia, welas asih, dan penyayang. Ia menyukai tantangan dan memiliki kepribadian yang luwes. Ia ingin hidup dalam damai dan menginginkan kesepadanan intelektual dengan pasangannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti doa dan arti nama Mas Nano, Mas Nano, kini berada di sebuah tempat yang luar biasa bagus, nyaman, adem, tentrem, penuh kebahagiaan di sisi Tuhan. Aamiin.

Eksistensi dan esensi keteladanan Mas Nano

Kepergian Mas Nano, sesuai namanya, telah meninggalkan ukiran sejarah kehidupannya di dunia hingga sampai menghadapNya bagi kita semua, persis sesuai literasi arti namanya. Norbertus Riantiarno, yang selama ini saya panggil sebagai Mas Nano. Ucapan iringan doa 7 hari Mas Nano, penting bagi saya untuk selalu mengingatkan diri. Untuk selalu mawas diri, merefleksi diri, instrospeksi diri, sesuai ilmu dan pendidikan yang saya serap dari Mas Nano, agar saya dapat menjadi orang yang selalu memiliki eksistensi dan esensi dalam setiap gerak langkah kehidupan, sesuai nama saya, nama yang diberikan oleh orangtua.

Seperti yang telah diteladankan oleh Mas Nano, sebuah nama, pastilah memiliki arti demi tujuan pemilik nama menjadi berarti, berguna di dalam kehidupannya. Dalam drama tragedi karya Shakespeare, Romeo and Juliet, Juliet menyebut kata-kata ketika merindukan kekasihnya, Romeo: “sekuntum mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap semerbak.” Namun, benarkah eksistensi (keberadaan) pemilik nama jauh lebih penting daripada esensi (hakikat, inti, hal yang pokok) arti nama itu sendiri?

Ada peribahasa, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Peribahasa yang sangat populer ini mengandung arti bahwa manusia mati akan dikenang dari jasa atau semua perbuatannya. Perbuatan baik ataupun buruk akan tetap dikenal meskipun seseorang sudah mati. Nama baik itu lebih berharga daripada harta, karena disaat seseorang wafat, nama baik lah yang dikenang. Sebaliknya jika perbuatannya buruk selama hidupnya, maka nama buruk/belangnya lah yang terlihat atau terungkap pada saat kematian.

Karenanya, meski Shakespeare menulis dialog yang diucapkan Juliet, “bunga mawar akan tetap harum meski diberi nama lain,” Ini hanyalah naskah sandiwara di atas panggung, yang dalam kehidupan nyata, tentu, orang akan tetap paham bahwa harum bunga itu adalah mawar, meski diberi nama lain. Orang tidak bisa dibohongi atas eksistensi dan esensinya.

Bagi kebanyakan orang dan bangsa, nama tidak diberikan secara sembarangan. Termasuk di Indonesia yang memiliki peribahasa “ ... Manusia mati meninggalkan nama.” Dari peribahasa tersebut, jelas dapat kita tangkap betapa pentingnya sebuah nama dipandang dari sudut eksistensi dan esensi si pemilik nama semasa hidupnya.

Bagi umat muslim, nama adalah doa, identitas diri, penanda “kesadaran teologis”. Nama juga sebagai pujian terhadap agama, perhiasan, dan syiar, sebab nama seseorang di dunia, pun akan diseru/dipanggil di akhirat dengan nama yang sama di dunia.

Bagi bangsa Jepang, nama adalah harapan (kibo). Tak heran, orang tua di Jepang melekatkan unsur kuat, sehat, dan pintar pada nama anak laki-laki. Lalu, unsur indah, cahaya, dan cerdas pada anak perempuan. Harus disadari bahwa setiap peristiwa selalu terhubung dengan nama. Bahkan sebagai pencipta kedua, manusialah pencetus peristiwa. Bila disebut dalam peristiwa atau tindakan yang baik, nama pelaku akan turut terbawa harum. Namun bila nama seseorang dikaitkan dengan peristiwa buruk, atau perbuatan salah, pasti namanya turut tercemar.

Lihatlah di ranah hukum yang dibuat oleh manusia di dunia. Hukum melindungi nama yang diduga terlibat tindak pidana namun belum terbukti bersalah menurut keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Orang yang diduga bersalah harus dianggap tidak bersalah sampai pengadilan membuktikan kesalahannya. Itulah sebabnya, penulisan nama terduga ‘pelaku” cukup dengan inisial.

Sayang, seiring berjalannya waktu, penghargaan atas sebuah nama di ranah hukum ini dirusak oleh media yang tidak cerdas dan tidak terdidik. Menyangkut nama terduga pelaku, kini ada media yang memberitakan dugaan tindak pidana, menuliskan nama terduga pelaku dengan nama jelas. Miris. Akibatnya, publik pun mengikutinya. Sebab kini dianggap sudah menjadi pengetahuan umum, publik merasa tidak melanggar hukum ketika menuturkannya, bahkan berbagi pesan tentang dugaan pidana secara telanjang. Tidak sadar di belakangnya akan ada tuntutan yang datang.

7 hari kepergian Mas Nano, penting bagi saya untuk senantiasa mengingatkan diri tentang nama saya dan apa yang sudah saya perbuat sesuai arti nama saya. Sebab, nama Mas Nano, sesuai artinya, faktanya telah terbukti teraplikasi dalam proses kehidupannya di dunia. Mas Nano meninggalkan nama baik yang lebih berharga daripada harta, dan akan selalu ada dalam pikiran kita semua.

Terima kasih atas pemberian nama JW

Di 7 hari kepergian Mas Nano, saya juga mengucapkan terima kasih atas pemberian nama di belakang nama saya: JW, menjadi Supartono JW. Saya tahu persis nama saya artinya apa. Sebab, kedua orangtua saya memberi tahu saat saya sudah memahami arti sebuah nama. Nama adalah doa. Dan sudah semustinya, orangtua saya berharap, segala tingkah laku kehidupan saya di dunia, sesuai arti namanya.

Dalam proses pendidikan di Kampus IKIP Jakarta tahun 80an, sebab saya aktif dalam keorganisasian bidang kesenian dan olahraga karena sebagai praktisi sepak bola dan teater, dosen yang saya kagumi, almarhum Jos Daniel Parera atau JD Parera, memberikan tambahan panggilan sayang kepada saya dengan tambahan Jawa. Alasan mengapa JD Parera memanggil saya si Jawa, sangat saya pahami, pun dipahami oleh teman dan sahabat saya di Kampus.

Lebih dari itu, kata Jawa mengacu pada nama-nama seperti suku, bahasa, budaya, pulau. Jawa juga berarti padi. Jawa itu adalah pemahaman menjalani hidup seperti ilmu padi. Memahami sesuatu secara keseluruhan, secara kesejatian. Padi itu apa? Padi itu bermanfaat dan berbahagia. Jadi, padi berbahagia ketika dirinya bermanfaat, terus merunduk dan lain-lain.

Hingga saya menjadi bagian dari Keluarga Besar Teater Koma, nama Supartono Jawa dalam kegiatan teater ingin saya pertahankan. Sebagai anggota Teater Koma Angkatan VIII/1993, dalam dua produksi pementasan yang saya ikut dilibatkan, yaitu Rampok (1993) dan Opera Ular Putih (1994), dalam Buku Acara Pementasan, nama saya masih ditulis Supartono.

Namun, setelah saya melalui Fase Proses Penerimaan Anggota Baru secara resmi, (Seleksi formal dan seleksi alam) hingga lahir Forum Jumat Taeter Koma (1994), dalam produksi pementasan Semar Gugat (1995), sebab Mas Nano Riantiarno meminta kami, menuliskan nama masing-masing yang akan ditulis di buku acara, maka saya menulis nama saya Supartono Jawa. Maksudnya, saya konsisten menggunakan tambahan Jawa di belakang nama saya untuk kegiatan teater, yang saya anggap sebagai hadiah sayang dari JD Parera.

Namun, setelah semua anggota Forum Jumat menuliskan nama, sebab sebagai anggota baru Teater Koma, ternyata saya dipanggil oleh Mas Nano ke ruang kerjanya di Sanggar Bintaro.

"Ton, nama kamu pakai Jawa di belakangnya? Tanya Mas Nano.

"Maaf. Iya Mas. Maksud saya, itu meneruskan nama saya di kegiatan teater kampus." Jawab saya.

"Kalau begitu, jangan Jawa ya, disingkat saja jadi JW." Permintaan Mas Nano.

"Baik Mas. Terima kasih." Jawab saya.

Jujur, sebelumnya, saya tidak pernah terpikir akan menggunakan tambahan nama JW yang merupakan singkatan dari Jawa yang diberikan oleh Mas Nano. Namun, saya merasakan sejak saya menggunakan tambahan nama JW di belakang Supartono, ada sesuatu gairah baru, semangat baru, mimpi-mimpi baru sebagai pelengkap makna arti Supartono yang diberikan oleh orangtua. Sebab, JW tetap sama dengan Jawa yang cukup memiliki makna mendalam.

Singkat cerita, pada produksi pementasan Cinta yang Serakah (1996), nama Supartono JW bahkan sudah masuk dalam daftar nama pemain, di Poster Cinta yang Serakah.

Terima kasih JD Parera yang sudah menambah panggilan sayang saya ditambah Jawa. Terima kasih Mas Nano Riantiarno yang sudah menyempurnakan tambahan nama saya di dunia teater dari Jawa berubah JW.

Sejatinya, nama Supartono JW awalnya hanya untuk kegiatan saya di dunia teater khususnya sebagai bagian dari Keluarga Besar Teater Koma atau nama di Teater Koma. Namun, seiring perjalanan waktu, nama Supartono JW akhirnya saya gunakan di semua bidang kegiatan yang saya geluti. Sehingga dalam setiap langkah saya menulis nama Supartono JW, senantiasa dilimpahi kelancaran, kesuksesan dan keberkahan. Sebab, di dalamnya akan selalu terlintas nama kedua orangtua saya, JD Parera, dan Mas Nano Riantiarno.

Sejak saya menjadi bagian dari Keluarga Besar Teater Koma, saya sudah meneladani prinsip-prinsip kehidupan panggung dan kehidupan nyata yang dididik oleh Mas Nano, khususnya yang diterapkan di Teater Koma, hingga detik ini.

Terima kasih, Mas Nano. Di 7 hari kepergian Mas Nano, eksistensi dan esensi yang ditorehkan Mas Nano di kehidupan dunia sesuai nama Norbertus Riantiarno, telah diteladani dan bermanfaat untuk umat. Doa saya, kini Mas Nano telah berada di sebuah tempat yang luar biasa bagus, nyaman, adem, tentrem, penuh kebahagiaan di sisi Tuhan. Aamiin.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler