INTERMESO

Jakob Oetama: A Living Hero

"Kita tidak menjual diri, kita tidak juga kompromistis. Sebaliknya kita senantiasa kritis, mengkritik with understanding."

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 12 September 2020

Seorang pria asal Amerika Serikat menghampiri Jakob Oetama saat menghadiri pelatihan jurnalistik di Universitas Hawaii pada 1980-an. Jakob tak kenal siapa sosok yang berdiri di hadapannya. Pendiri Kompas Gramedia itu pun tak lagi ingat dari media mana ia berasal. Tapi ucapannya kepada Jakob begitu menancap dan membekas.

“Jakob, you are a living hero,” selorohnya yang sontak membuat Jakob kaget. Pria yang mempunyai panggilan kecil Raden Bagus To itu tak langsung berbunga-bunga. Celetukan itu ia pendam dan direfleksikan. “Apakah saya ini? Benarkah saya seorang living hero?” tanya Jakob dalam hati.

Setelah kalimat itu lama mengendap, baru perlahan ia ceritakan kepada wartawan dan rekan redaksi Kompas. Itu pun dalam konteks refleksi terbitnya kembali Kompas pada 6 Februari 1978 setelah sempat ditutup oleh Presiden Soeharto.

Jakob Oetama
Foto: dok. Kompas

“Untuk apa? Untuk meyakinkan diri, pilihan Kompas, pilihan kita 5 Februari 1978 dini hari, berada dalam jalur yang benar. Kita sudah dalam jalur yang benar mengembangkan Kompas selama ini. Kita tidak menjual diri, kita tidak juga kompromistis. Sebaliknya, kita senantiasa kritis, mengkritik with understanding,” ujarnya dalam buku 'Syukur Tiada Akhir. Jejak Langkah Jakob Oetama' yang disusun oleh St Sularto.

Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak bisa diajak berjuang. Daripada peranan Kompas diambil alih media lain yang belum tentu bisa memperbaiki pers Indonesia, sebaiknya syarat dipenuhi."

Umur Kompas tak bisa panjang tanpa keputusan Jakob pada saat itu. Hari bersejarah yang menentukan masa depan Kompas. Saat itu Jakob tengah berdiskusi dengan PK Ojong, yang juga merupakan pendiri Kompas. Mereka membicarakan pembredelan Kompas atas mandat dari Presiden Soeharto. Kompas tak sendiri, ada 11 majalah dan koran lain yang diperintahkan untuk ditutup.

Sejumlah media ditutup seiring dengan maraknya aksi mahasiswa di berbagai kota menjelang Sidang Umum MPR pada 1978. Tuntutan para mahasiswa langsung menusuk jantung kekuasaan, yakni 'tidak setuju Soeharto dicalonkan kembali sebagai presiden'.

Namun pemerintah menawarkan penerbitan kembali media yang ditutup asalkan pimpinannya bersedia meminta maaf dan menandatangani kesepakatan yang terdiri atas empat butir utama, yakni tidak mengkritik Keluarga Pertama (First Family atau Keluarga Presiden); tidak mengungkit dwifungsi ABRI; tidak menulis tentang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta tidak menulis hal yang memperuncing konflik.

Ojong tak langsung menyetujui penawaran itu. Awalnya ia justru menyatakan sikap tidak setuju. Ojong menganggap persyaratan tersebut menempatkan pengelola surat kabar dalam posisi lemah dan penguasa lebih kuat lagi. Tapi Jakob punya argumen berbeda. Ia berpendapat perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya lewat media massa. “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak bisa diajak berjuang. Daripada peranan Kompas diambil alih media lain yang belum tentu bisa memperbaiki pers Indonesia, sebaiknya syarat dipenuhi.”

Jakob Oetama
Foto: dok. Kompas

Ojong akhirnya setuju. Selanjutnya urusan keredaksian diserahkan kepada Jakob. Keputusan Jakob menyetujui persyaratan terbit kembali Kompas pada 5 Februari 1978 di satu sisi mungkin meninggalkan rasa kalah atau tunduk, tetapi di sisi lain itu berkah bagi kelanjutan Kompas. Selama 15 tahun kebersamaan Ojong dan Jakob, perusahaan media yang mereka bangun terus berkembang. Hingga kembali dilanda badai ketika Ojong pergi untuk selamanya. Pada 1980, Ojong meninggal mendadak dalam tidurnya.

Kepergian Ojong meninggalkan beban berat di pundak Jakob. Selama ini konsentrasinya adalah mengurusi bidang redaksional, ia kini juga ‘dipaksa’ mengurusi aspek bisnis. “Saya harus tahu bisnis. Dengan rendah hati, saya akui pengetahuan saya soal manajemen bisnis, nol! Tapi saya merasa ada modal, bisa ngemong! Kelebihan saya adalah saya tahu diri tidak tahu bisnis,” ucap Jakob, yang pernah direkomendasikan memperoleh beasiswa di University of Columbia, Amerika Serikat.

Dalam bidang bisnis, Jakob mengakui dengan rendah hati kurang berbakat. Mungkin karena tidak berasal dan tidak dibesarkan dalam lingkungan keluarga bisnis. Berbeda dengan keluarga Ojong, yang merupakan pedagang tembakau. Jakob adalah putra pertama dari 13 bersaudara pasangan Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo dan Margaretha Kartonah. Brotosoesiswo merupakan seorang guru Sekolah Rakyat yang selalu berpindah-pindah tugas. Terakhir, Brotosoesiswo menetap di Sleman hingga meninggal pada 1975. “Dengan itulah saya berguru karena, selain sebagai rekan kerja, dialah (Ojong) guru saya, the show must go on,” kata Jakob merendah.

Di bawah kepemimpinan Jakob, perusahaan media itu terus berkembang. Hingga mempunyai banyak anak perusahaan. Untuk koran Kompas saja, dari penelitian Kompas pada 2009, oplah di Jabodetabek lebih dari 70 persen. Selama enam tahun terakhir berhasil mencapai 480 ribu eksemplar pada hari biasa dan 580 ribu eksemplar pada Sabtu dan Minggu.

Suasana di rumah duka Jakob Oetama
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, menjadi saksi atas keteladanan dan kesederhanaan Jakob. Pernah sekali ia mengantar Jakob ke Hotel Santika Premiere di Yogyakarta. Penjaga pintu hotel membiarkan pria bermobil Daihatsu merah butut masuk begitu saja. Ia tak sadar jika pria itu merupakan Jakob, yang merupakan bosnya. “Dia tidak merasa kaya di antara orang miskin, tidak pula merasa miskin di antara orang kaya,” tutur Sindhunata.

Sindhunata pulalah yang menjadi pastor pemimpin dalam misa pelepasan arwah Jakob pada Kamis lalu. Jakob meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading, Jakarta. Sebelum meninggal dunia, Jakob sempat menjalani perawatan di rumah sakit sejak 22 Agustus 2020. Ia wafat pada usia 88 tahun.

"Pak Jakob pernah bercerita, Kompas itu ladang Tuhan. Ladang itu bukan milik saya," ungkap Sindhunata. Ia mengingat Jakob sebagai sosok yang bekerja bukan untuk kekayaan material. "Kalaupun Pak Jakob kaya, kekayaan itu bukanlah target hidupnya. Kekayaan adalah buah dari kesederhanaannya," ungkapnya.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE