Polisi dan TNI Hanya Dibekali Peluru Karet saat Putusan MK 27 Juni

Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kanan) didampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengungkapkan bahwa semua anggotanya – begitu pula dengan prajurit TNI – tidak diperbolehkan membawa peluru tajam saat pengamanan sidang putusan atas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum oleh Majelis Hakim di Mahkamah Konstitusi Jakarta pada 27 Juni mendatang. Bagi Tito, itu adalah prosedur tetap (protap) untuk penjagaan kawasan MK, termasuk antisipasi bila menghadapi aksi unjuk rasa.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

"Jadi kita akan gunakan teknik-teknik tertentu, mulai dari peringatan. Kalau para pelaku unjuk rasa baik-baik juga, enggak ganggu masyarakat, ya pasti kita akan baik-baik. Dari dulu begitu, ratusan kali kita menangani,” ujar Kapolri

“Sedangkan kalau ada yang melakukan kerusuhan, pasti kita tindak tegas, tapi tindakan tegasnya terukur. Maka saya perintahkan jangan bawa peluru tajam," kata Tito di Mabes Polri, Selasa 25 Juni 2019.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Mantan Kapolda Metro Jaya itu juga menjelaskan anggotanya hanya diperbolehkan membawa peluru karet. Itu pun hanya bisa digunakan lewat prosedur dan setelah diberikan peringatan jika eskalasi aksi massa meningkat.

"Jadi, nanti kalau ada apa-apa, ada peluru tajam, pasti bukan dari Polri dan TNI. Itu karena sudah tegas saya dan Pak Panglima TNI sampaikan kepada para komandan, maksimal yang kita gunakan adalah peluru karet. Itu pun teknisnya ada dan kita akan berikan warning sebelumnya," kata Tito.

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

Kapolri juga berharap tidak ada kerusuhan seperti 22 Mei kemarin. Semua warga pun diminta tertib dalam aturan yang berlaku.

"Saya minta jangan buat kerusuhan, termasuk pihak ketiga, mungkin. Karena apa? Selain kita melakukan tindakan hukum yang berlaku, percayalah bahwa masyarakat Indonesia tidak menghendaki adanya kerusuhan, seperti peristiwa 21 dan 22 Mei," lanjut mantan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme itu. (ren)

Laporan : Dea Syavira

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya