ANALISIS

Pemerintah dan BI, Tolong Segera Rem Lonjakan Inflasi!

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Selasa, 02 Agu 2022 07:07 WIB
Ekonom meminta pemerintah dan BI segera merespons lonjakan inflasi yang terjadi di dalam negeri belakangan ini supaya tak merembet ke mana-mana.
Ekonom meminta pemerintah dan BI segera merespons lonjakan inflasi yang terjadi di dalam negeri belakangan ini supaya tak merembet ke mana-mana. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah agaknya masih santai merespons inflasi RI yang hampir tembus 5 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada Juli 2022. Ini tercermin dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menilai realisasi inflasi 4,94 persen secara tahun pada Juli 2022 masih relatif moderat.

Padahal, angka itu menjadi yang tertinggi sejak 2015. Ia berdalih inflasi RI moderat karena inflasi di negara tetangga sudah menyentuh 6 persen bulan lalu.

Sebagai contoh, inflasi India mencapai 7 persen dan Filipina 6,1 persen secara tahunan pada Juli 2022.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

"Inflasi Indonesia yang 4,94 persen secara tahunan (per Juli 2022) masih relatif moderat," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (1/8).

Bendahara negara mengatakan inflasi RI terjaga karena pemerintah menahan harga BBM solar bersubsidi, BBM penugasan pertalite, listrik dengan daya di bawah 3.500 VA, dan elpiji (LPG).

"Tekanan akibat kenaikan harga energi global tinggi tidak ter-transmisikan ke dalam negeri pada administered price ini akibat atau hasil dari kebijakan pemerintah untuk mempertahankan harga jual energi domestik melalui kenaikan subsidi listrik, BBM, LPG," papar Sri Mulyani.

Begitu juga dengan Gubernur BI Perry Warjiyo yang semula memprediksi inflasi hanya 4,89 persen atau lebih rendah dari realisasi 4,94 persen pada Juli 2022. Meski proyeksinya meleset, tapi ia menganggap hal itu masih wajar.

"Kami perkirakan Juli 4,89 persen, tapi perbedaan (dengan realisasi) sedikit masih wajar," kata Perry.

Ia menilai inflasi RI meningkat karena gangguan pasokan dari dalam dan luar negeri. Menurutnya, jumlah persediaan tak setinggi permintaan karena ada faktor cuaca dan musiman di dalam negeri.

Namun, Perry memastikan pasokan bahan pangan dari dalam negeri akan meningkat mulai Agustus sampai akhir Desember 2022. Dengan demikian, inflasi RI berpotensi turun pada akhir tahun.

"Pemantauan kami di 46 kantor BI bahwa pasokan pangan untuk Agustus, September, Oktober, November, dan akhir tahun ini akan meningkat. Pasokan bawang merah, cabai, telur ayam, daging sapi, dan juga tentu yang bagus adalah minyak goreng," jelas Perry.

Meski begitu, pemerintah dan bank sentral sebaiknya tak jemawa. Sebab, inflasi RI juga berpotensi melonjak seperti negara lain.

Managing Director Political Economic and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan bahkan memproyeksi inflasi RI tembus 7 persen-10 persen tahun ini.

"Saya kira inflasi sampai Desember bisa antara 7 persen-10 persen," kata Anthony.

Hal itu akan terjadi jika BI masih kekeh menahan suku bunga acuan di level 3,5 persen. Apalagi, bank sentral di sejumlah negara sudah mengerek suku bunga acuan.

Alhasil, selisih bunga acuan BI dengan bank sentral lain semakin tipis. Situasi ini berpotensi membuat aliran modal asing keluar (capital outflow) dan rupiah melemah.

Pelemahan rupiah membuat harga barang impor semakin mahal. Modal yang harus dikeluarkan oleh importir otomatis bertambah dan harga jual produk ikut meningkat.

"Sumber inflasi di Indonesia beragam. (Salah satunya) kalau nilai tukar rupiah turun terus maka semua harga barang impor akan naik," ujar Anthony.

Senada, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga mengingatkan pemerintah bahwa inflasi RI rentan naik karena barang impor. Penyebabnya ada dua, harga dari negara asal meningkat dan nilai tukar rupiah melemah.

"Hati-hati dengan imported inflation akibat fluktuasi kurs dan harga beberapa pangan memang sudah naik di negara asalnya," ujar Bhima.

Ia mengatakan indeks harga produsen tembus 11 persen secara tahunan pada kuartal II 2022. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan pengusaha untuk membeli barang sudah naik dua digit.

"Ini kan tinggal tunggu waktu, produsen akan membebankan kenaikan biaya produksi ke konsumen akhir. Inflasi Juli yang hampir 5 persen secara tahunan hanyalah awal," jelas Bhima.

Belum lagi jika harga energi terus meningkat. Kantong pemerintah untuk membiayai subsidi tentu akan semakin kering.

Kalau sudah begitu, jangan kaget pemerintah pelan-pelan menaikkan harga BBM, listrik, atau LPG yang selama ini disubsidi.

"Kalau ruang fiskalnya menyempit apalagi kebutuhan untuk penyelesaian proyek infrastruktur memakan APBN, bisa naik signifikan inflasi energinya," tutur Bhima.

Ia sepakat dengan Anthony bahwa BI perlu mengerek suku bunga acuan untuk menekan laju inflasi dari sisi permintaan. Jika tidak, inflasi RI berpotensi tembus 5 persen-6,5 persen sampai akhir tahun ini.

"BI idealnya menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin sebelum terlambat," katanya.

Waspadai Lonjakan Harga Produk Impor

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
REKOMENDASI UNTUK ANDA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER