Meneladan Adi Andojo Soetjipto, Mantan Hakim Agung yang Antikorupsi
Mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto berpulang. Adi merupakan salah satu teladan dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Ia dikenal sebagai sosok hakim yang jujur, tegas, dan konsisten.
Mantan Hakim Agung yang pernah menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pidana Umum Adi Andojo Soetjipto berpulang. Sebagai sosok yang dikenal lurus dan berani, kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia peradilan Indonesia.
Kepala Biro Humas dan Hukum Mahkamah Agung Sobandi mengatakan, Adi Andojo Soetjipto bin Soetjipto Wongsoatmodjo meninggal pada Rabu (12/1/2022) pada pukul 03.33. Almarhum meninggal karena sakit.
Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro mengatakan, segenap pimpinan MA dan jajarannya menyatakan rasa duka yang mendalam atas berpulangnya Adi Andojo Soetjipto. Almarhum dipandang sebagai sosok bapak, guru, dan pimpinan.
”Karena beliau pernah menjabat sebagai Ketua Muda MA Bidang Pidana pada tahun 80-an,” kata Andi.
Baca juga: Menjadi Hakim yang Tidak Korupsi dan Selingkuh
Menurut Andi, Adi Andojo merupakan salah satu teladan dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Sebab, Adi Andojo dipandang sebagai sosok hakim yang jujur, tegas, dan konsisten. Andi menilai, melalui putusan-putusannya, juga melalui surat edaran MA mengenai aturan pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Adi Andojo telah memberikan warna yang baik.
Sumbangsih lainnya, dalam penegakan hukum pidana. Mendiang Adi Andojo berpandangan tentang perlunya pedoman pemidanaan guna menghindari terjadinya disparitas pemidanaan. Sebab, untuk mewujudkan rasa keadilan, bukan berarti setiap perkara yang serupa dan berhubungan harus sama pidananya, melainkan diperlukan keserasian dalam pemidanaan.
”Selamat jalan Pak Adi Andojo. Kami doakan semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah SWT,” ungkapnya.
Integritas Adi Andojo
Sosok Adi Andojo Soetjipto yang dikenal sebagai seorang hakim yang berintegritas tidak muncul begitu saja. Hal itu tidak hanya ditunjukkan ketika memutus perkara, tetapi juga dalam sikap dan tindakannya ketika melihat kecurangan yang terjadi di tubuh MA.
Pada 1996, muncul tudingan kolusi di lembaga peradilan tertinggi dalam kasus Gandhi Memorial School senilai Rp 1,4 miliar. Meski sudah menjadi isu lama, tudingan itu mencuat ketika majalah Forum Keadilan saat itu melaporkan, adanya surat berkategori ”rahasia” dari Ketua Muda Bidang Hukum Pidana Umum, Adi Andojo Soetjipto, kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang menganjurkan agar Kejari Jakpus melakukan upaya hukum peninjauan kembali (Kompas, 9/4/1996).
Anjuran tersebut diberikan karena ada kolusi antara terdakwa Ram Gulumal alias V Ram yang memakai pengacara mantan hakim agung dan hakim agung yang menyidangkan kasus tersebut. Kemudian terdakwa V Ram diputus bebas murni oleh Mahkamah Agung.
Akibat dari persoalan tersebut, saat itu, Ketua MA Soerjono justru berencana mengirim surat usulan kepada Presiden Soeharto selaku Kepala Negara untuk memberhentikan Adi Andojo Soetjipto sebagai hakim agung di lingkungan MA. Di kemudian hari, Ketua Mahkamah Agung (MA) Sarwata menolak untuk mencabut surat usulan pemberhentian dengan hormat hakim agung Adi Andojo Soetjipto kepada Kepala Negara.
Baca juga: Sebuah Nama untuk Hadirkan Keadilan
Dalam biografinya, Menjadi Hakim yang Agung (2017), Adi Andojo menuliskan, usahanya untuk memberantas kolusi di MA pada 1996 itu bukan sekadar mencari popularitas murahan. Sebaliknya, hal itu merupakan keinginan yang sungguh-sungguh timbul dari hati sanubari yang terdalam.
”Untuk mencegah agar boroknya MA tidak semakin membusuk sehingga penegakan hukum di dalamnya semakin menjadi illusoir (ilusi),” kata Adi Andojo.
Keinginannya agar lembaga peradilan menjadi bersih terungkap dalam catatan hukum yang ditulisnya di Kompas, 19 Februari 1996, berjudul ”Kolusi di Badan Peradilan”. Menurut Adi Andojo, kolusi dapat diberantas ketika ada kebulatan tekad dari pimpinan. Pimpinan pun harus dapat dijadikan panutan, baik moralnya, ketegasannya, maupun keberaniannya.
”Pengadilan adalah tempat orang mencari keadilan. Akankah lembaga ini kita biarkan menjadi tempat orang mempermainkan keadilan dan kita biarkan ini terus berlarut-larut?” ujarnya.
Akibat dari sikapnya itu, Adi Andojo sempat dijauhi oleh para hakim, khususnya di lingkungan MA. Meski demikian, tidak sedikit hakim yang memberikan dukungan, khususnya oleh hakim yang berada di daerah.
Setelah pensiun, Adi Andojo mengajar di Universitas Trisakti, Jakarta. Selain itu, ia sempat diangkat sebagai Ketua Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibentuk Jaksa Agung.
Aktivis antikorupsi, Adnan Topan Husodo, dalam ”Dari ’Lidah Pancang’ ke Pengadilan”, salah satu tulisan dari buku Saksi yang Dibungkam (2006), menuliskan, belum lama menjadi Ketua TGPTPK, seseorang bernama Endin Wahyudin melaporkan peristiwa suap kepada tiga majelis hakim di MA kepada TGPTPK. Adi Andojo segera menindaklanjutinya dan menemukan bukti dugaan suap terhadap tiga majelis hakim tersebut.
Namun, laporan tersebut justru berbalik dengan dilaporkannya Endin dan Adi kepada kepolisian. Meski Adi mengaku tidak pernah diperiksa, laporan terhadap Endin tetap sampai ke persidangan hingga ia akhirnya divonis 3 bulan penjara. Kehadiran Adi Andojo sebagai saksi yang meringankan Endin sama sekali tidak digunakan hakim sebagai pertimbangan.
Sebaliknya, Adi Andojo kemudian justru digugat perdata dengan tuntutan ganti rugi Rp 2 miliar oleh Endin karena dianggap telah menyengsarakan dirinya. ”Endin meminta rumah saya disita, padahal rumah ini adalah rumah dinas yang saya beli dengan cara mencicil sejak tahun 1997 sampai 2002,” kata Adi Andojo.
Sosok Adi Andojo
Adi Andojo Seotjipto merupakan anak dari pasangan Mas Soetjipto Wongsoatmodjo dan Raden Nganten Soetjiati Sosrodihardjo. Sang ayah adalah seorang hakim di Bojonegoro. Dari sang ayah pula, Adi Andojo bercita-cita menjadi seorang hakim.
Pada Hari Ulang Tahun Ke-52 harian Kompas pada 2017, Adi Andojo Soetjipto merupakan satu dari tiga orang penerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi dari Kompas. Dua lainnya adalah Sawitri Supardi Sadarjoen (74) dan J Kristiadi (71).
Dalam biografinya, Adi Andojo mengatakan, ia pasrah jika ada orang yang menyebutnya sebagai ”cermin integritas hakim”. Namun, bagi Adi Andojo, ia sebenarnya hanya ingin menjadi hakim yang baik dengan meneladani sang ayah, Mas Soetjipto Wongsoadmodjo, pensiunan Ketua Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Timur, yang ia gantikan.
”Beliau adalah seorang yang adil, jujur, bijaksana, dan sederhana,” katanya.
Baca juga: Hakim yang Terlibat Korupsi
Sifat adil, jujur, bijaksana, dan sederhana juga ditanamkan di keluarga Adi Andojo. Ketika menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat, tahun 1974, Adi Andojo belum mempunyai rumah pribadi.
”Bapak (Adi Andojo) tak mengizinkan anak-anak menggunakan mobil dinas, misalnya untuk ke sekolah meskipun diantar sopir. Mobil dinas itu, menurut Bapak, ya untuk urusan dinas saja,” kata Tuti Sirdariati, istri Adi Andojo (Kompas, 28 Juni 2017).
Adi Andojo Soetjipto telah berpulang. Namun, keteladanannya untuk bersikap adil, jujur, bijaksana, dan sederhana menjadi warisan terindah yang hendaknya jadi contoh bagi generasi penerus, terutama para hakim di negeri ini.