BERHARI-HARI, gadis kecil itu terus menari. Sejak kehidupan mulai bergerak di pagi hari dan suara musik dangdut dari warung kecil di ujung halaman parkir toko swalayan itu membangunkannya, tarian itu pun dimulai. Tak henti-henti. Sampai gerak kehidupan berhenti dan warung kecil itu ditutup kembali.
Siapakah gadis kecil yang menikmati hidup dengan cara yang aneh itu? Tak ada yang tahu.
“Orang-orang memanggilnya Poco, karena gerakannya mirip tari poco-poco,” kata pemilik warung itu. “Kadang-kadang gerakannya mirip ronggeng blantek.”
“Kadang-kadang ia juga berputar-putar sambil merentangkan kedua tangannya seperti penari sufi,” timpal pelayan warung makan di sebelahnya.
“Ya, seperti tarian Rumi, seperti yang pernah saya lihat di televisi,” timpal yang lain.
Namun, tidak ada yang tahu siapa nama gadis kecil itu sebenarnya. Juga tidak ada yang tahu dari mana asalnya, anak siapa, dan mengapa ia terus menari. Tarian demi tarian ia mainkan. Tak henti-henti. Seperti tak kenal lelah, tak kenal waktu, tak kenal rasa haus dan lapar. Sampai orang-orang lelah sendiri melihatnya dan membiarkan gadis itu terus menari sesukanya.
“Dia tidak pernah menjawab kalau ditanya. Kadang-kadang malah menangis,” kata pemilik warung itu.
“Mungkin dia bisu.”
“Tidak. Dia sering menyanyi sendiri di malam hari, ketika orang-orang sudah pergi dan warung kami sudah tutup.”
“Dia mungkin pengemis?”
“Bukan. Dia tidak pernah meminta-minta.”
“Bagaimana dia makan?”
“Hampir tidak pernah makan. Mungkin sehari hanya sekali, sehabis Maghrib. Dia beli nasi di warung itu dengan uangnya sendiri. Entah dari mana. Mungkin ada yang memberinya.”
“Berarti tiap hari dia puasa. Hebat ya.”
Nama dan asal-usul gadis kecil itu mungkin tidak terlalu penting. Bagaimana ia mendapatkan uang untuk membeli nasi, mungkin juga tidak penting. Yang paling membuat orang-orang penasaran adalah pilihan hidup gadis kecil itu: menari dan terus menari, tak henti-henti. Tidak jelas apa yang mendorongnya untuk terus menari, karena ia tidak pernah menjawab pertanyaan apa pun yang diajukan kepadanya.
Sepertinya ada semacam kekuatan besar, seperti baterai alkalin di dalam boneka robotik, yang menggerakkan gadis kecil itu untuk terus menari dengan kekuatan jiwanya. Matanya kadang-kadang tampak berkaca-kaca saat menari dan tiba-tiba menitikkan air mata saat berhenti menari. Mungkin ada kepahitan hidup yang harus ia kubur dalam-dalam dengan tariannya. Tapi, kepahitan seperti apa? Sudahkah gadis sekecil itu—usianya sekitar 12 tahun—menanggung kepahitan hidup yang berat. Dari siapa kepahitan itu datangnya?
Tibalah suatu hari gadis kecil itu berhenti menari. Padahal, warung kecil itu sudah buka dan musik dangdut membahana mengiringi lagu-lagu terfavorit. Warung kecil itu memang selalu memutar lagu-lagu dangdut dari tape recorder, menciptakan suasana gembira para pelanggan. Warung kecil itu tentu tidak menjajakan CD atau VCD, tapi menjajakan mi rebus, bubur kacang hijau, telur setengah matang, teh panas, dan kopi. Juga makanan kecil, seperti pisang goreng, tahu susur, dan kue pukis.
Gadis kecil itu benar-benar tidak menari hari itu. Mungkin dia sakit? Wajar kalau dia sakit karena kebanyakan menari, tubuhnya tidak kuat. Mungkin sakit pinggang, atau kakinya keseleo. Mudah-mudahan saja tidak. Tapi, mengapa hari itu ia tidak menari? Mungkinkah dia kelelahan dan perlu istirahat? Istirahat di mana dia? Di mana rumahnya?
“Di mana Poco, kok hari ini tidak menari?” tanya pemilik warung kecil kepada pe milik warung makan.
“Kalau benar sakit, saya mau menjenguknya,” timpal pemilik warung kecil. “Di mana ya rumahnya?” tambahnya.
“Saya pernah melihat dia masuk ke gang itu,” kata pemilik warung makan sambil menunjuk sebuah gang kecil di seberang jalan. “Mungkin rumahnya di gang itu.”
Mereka untuk sementara punya dugaan kuat si Poco tinggal di gang itu dan tidak menari karena sakit atau kelelahan. Mereka pun untuk sementara bisa melupakan Poco. Tak ada pertunjukan tari untuk beberapa hari. Kemudian, ada kabar dari penghuni gang yang makan di warung, bahwa gadis penari itu akan dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang mantan pembunuh yang sudah beristri dua.
“Marni sebenarnya tidak mau, tapi takut sama ayahnya,” kata penghuni gang itu.
Pemilik warung makan dan warung kecil akhirnya tahu bahwa nama gadis penari itu Marni. Mereka juga tahu bahwa ayah gadis itu adalah tukang parkir di depan toko swalayan itu. Dia bersama seorang temannya menguasai lahan parkir tersebut secara ilegal. Lahan perkir itu berada dalam kekuasaan sang mantan pembunuh yang kini menjadi ketua sebuah ormas. Wajar kalau ayah Marni menerima lamaran sang mantan pembunuh yang sebenarnya sudah beristri dua itu.
“Kasihan Marni akan dijadikan istri ketiga,” jelas penghuni gang itu. “Sebenarnya Marni masih ingin sekolah. Kasihan kalau belum lulus SD terpaksa harus kawin,” tambahnya.
“Makanya dia suka menari di sini. Kadang-kadang sampai malam. Untuk melupakan masalahnya,” timpal pemilik warung kecil.
“Di sekolahnya dia memang pandai menari. Pernah diikutkan lomba menari tingkat kecamatan mewakili sekolahnya,” ujar penghuni gang yang mengaku rumahnya bersebelahan dengan tempat tinggal Marni.
“Makanya dia suka menari di sini. Kadang-kadang sampai malam. Untuk melupakan masalahnya,” timpal pemilik warung kecil.
“Di sekolahnya dia memang pandai menari. Pernah diikutkan lomba menari tingkat kecamatan mewakili sekolahnya,” ujar penghuni gang yang mengaku rumahnya bersebelahan dengan tempat tinggal Marni.
Marni, cerita penghuni gang itu, dipaksa ayahnya berhenti sekolah, karena mau dinikahkan. Padahal, ketika itu ujian tinggal beberapa bulan lagi. Marni tentu kecewa berat. Berhari-hari dia mengurung diri di kamar. Kadang-kadang terdengar ia menangis.
Ketika mereka asyik berbincang, tiba-tiba gadis kecil itu, Marni, berlari kecil ke depan warung mi dan menari lagi seirama lagu dangdut. Dan, tiba-tiba seorang perempuan, mungkin ibunya, mengejarnya dan mencoba menghentikannya.
“Marni, ayo pulang!” ajak perempuan itu sambil memegang lengan anak itu.
“Nggak mau!” jawab Marni sambil terus menari.
“Sudah, Marni. Berhenti. Kayak orang gila saja!”
“Biarin!”
Marni masih menari. Ibunya tak tahu harus bagaimana menghentikan tariannya. Ia kemudian berbalik melangkah menghampiri seorang lelaki kurus yang sedang mengatur parkir di halaman toko swalayan tak jauh dari warung mi itu. Rupanya ia mau mengadukan kelakuan Marni ke bapaknya.
“Pak, itu anakmu joget terus kayak orang gila! Diajak pulang nggak mau,” katanya kepada lelaki tukang parkir itu.
“Wah, kamu gimana? Ngajak pulang anak aja nggak bisa!” kata tukang parkir itu. “Aku lagi repot nih. Yang ngatur parkir nggak ada.”
“Coba kamu bujuk lagi. Paksa dia kalau nggak mau! Seret pulang kalau perlu!”
Perempuan itu diam sesaat lalu balik melangkah ke arah Marni. Dia mencoba membujuk Marni lagi agar berhenti menari dan mau diajak pulang. Tapi, Marni tidak mau. Ia terus manari dan menari.
“Seret saja kalau tak mau!” teriak lelaki tukang parkir itu.
“Tuh, bapakmu marah, Marni. Ayo pulang!” timpal perempuan itu.
“Biarin!” jawab Marni sambil terus menari. Perempuan itu menarik lengan Marni, tapi gadis kecil itu berontak. Tarik-menarik terjadi beberapa saat. Marni lepas, hampir terjatuh.
Perempuan itu akhirnya putus asa, tak bisa mengajak anaknya pulang. Dengan perasaan masygul ia lantas duduk di trotoar menyaksikan anaknya menari.
Lagu-lagu dangdut dari warung mi itu terus membahana dan Marni terus menari dan menari. Akhirnya perempuan itu meninggalkan Marni, menari sendiri, tak henti-henti.(*)
Siapakah gadis kecil yang menikmati hidup dengan cara yang aneh itu? Tak ada yang tahu.
“Orang-orang memanggilnya Poco, karena gerakannya mirip tari poco-poco,” kata pemilik warung itu. “Kadang-kadang gerakannya mirip ronggeng blantek.”
“Kadang-kadang ia juga berputar-putar sambil merentangkan kedua tangannya seperti penari sufi,” timpal pelayan warung makan di sebelahnya.
“Ya, seperti tarian Rumi, seperti yang pernah saya lihat di televisi,” timpal yang lain.
Namun, tidak ada yang tahu siapa nama gadis kecil itu sebenarnya. Juga tidak ada yang tahu dari mana asalnya, anak siapa, dan mengapa ia terus menari. Tarian demi tarian ia mainkan. Tak henti-henti. Seperti tak kenal lelah, tak kenal waktu, tak kenal rasa haus dan lapar. Sampai orang-orang lelah sendiri melihatnya dan membiarkan gadis itu terus menari sesukanya.
“Dia tidak pernah menjawab kalau ditanya. Kadang-kadang malah menangis,” kata pemilik warung itu.
“Mungkin dia bisu.”
“Tidak. Dia sering menyanyi sendiri di malam hari, ketika orang-orang sudah pergi dan warung kami sudah tutup.”
“Dia mungkin pengemis?”
“Bukan. Dia tidak pernah meminta-minta.”
“Bagaimana dia makan?”
“Hampir tidak pernah makan. Mungkin sehari hanya sekali, sehabis Maghrib. Dia beli nasi di warung itu dengan uangnya sendiri. Entah dari mana. Mungkin ada yang memberinya.”
“Berarti tiap hari dia puasa. Hebat ya.”
Nama dan asal-usul gadis kecil itu mungkin tidak terlalu penting. Bagaimana ia mendapatkan uang untuk membeli nasi, mungkin juga tidak penting. Yang paling membuat orang-orang penasaran adalah pilihan hidup gadis kecil itu: menari dan terus menari, tak henti-henti. Tidak jelas apa yang mendorongnya untuk terus menari, karena ia tidak pernah menjawab pertanyaan apa pun yang diajukan kepadanya.
Sepertinya ada semacam kekuatan besar, seperti baterai alkalin di dalam boneka robotik, yang menggerakkan gadis kecil itu untuk terus menari dengan kekuatan jiwanya. Matanya kadang-kadang tampak berkaca-kaca saat menari dan tiba-tiba menitikkan air mata saat berhenti menari. Mungkin ada kepahitan hidup yang harus ia kubur dalam-dalam dengan tariannya. Tapi, kepahitan seperti apa? Sudahkah gadis sekecil itu—usianya sekitar 12 tahun—menanggung kepahitan hidup yang berat. Dari siapa kepahitan itu datangnya?
*****
Tibalah suatu hari gadis kecil itu berhenti menari. Padahal, warung kecil itu sudah buka dan musik dangdut membahana mengiringi lagu-lagu terfavorit. Warung kecil itu memang selalu memutar lagu-lagu dangdut dari tape recorder, menciptakan suasana gembira para pelanggan. Warung kecil itu tentu tidak menjajakan CD atau VCD, tapi menjajakan mi rebus, bubur kacang hijau, telur setengah matang, teh panas, dan kopi. Juga makanan kecil, seperti pisang goreng, tahu susur, dan kue pukis.
Gadis kecil itu benar-benar tidak menari hari itu. Mungkin dia sakit? Wajar kalau dia sakit karena kebanyakan menari, tubuhnya tidak kuat. Mungkin sakit pinggang, atau kakinya keseleo. Mudah-mudahan saja tidak. Tapi, mengapa hari itu ia tidak menari? Mungkinkah dia kelelahan dan perlu istirahat? Istirahat di mana dia? Di mana rumahnya?
“Di mana Poco, kok hari ini tidak menari?” tanya pemilik warung kecil kepada pe milik warung makan.
“Ya, ke mana ya si Poco. Jangan-jangan sakit dia,” sahut pemilik warung makan.
“Kalau benar sakit, saya mau menjenguknya,” timpal pemilik warung kecil. “Di mana ya rumahnya?” tambahnya.
“Saya pernah melihat dia masuk ke gang itu,” kata pemilik warung makan sambil menunjuk sebuah gang kecil di seberang jalan. “Mungkin rumahnya di gang itu.”
Mereka untuk sementara punya dugaan kuat si Poco tinggal di gang itu dan tidak menari karena sakit atau kelelahan. Mereka pun untuk sementara bisa melupakan Poco. Tak ada pertunjukan tari untuk beberapa hari. Kemudian, ada kabar dari penghuni gang yang makan di warung, bahwa gadis penari itu akan dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang mantan pembunuh yang sudah beristri dua.
“Marni sebenarnya tidak mau, tapi takut sama ayahnya,” kata penghuni gang itu.
Pemilik warung makan dan warung kecil akhirnya tahu bahwa nama gadis penari itu Marni. Mereka juga tahu bahwa ayah gadis itu adalah tukang parkir di depan toko swalayan itu. Dia bersama seorang temannya menguasai lahan parkir tersebut secara ilegal. Lahan perkir itu berada dalam kekuasaan sang mantan pembunuh yang kini menjadi ketua sebuah ormas. Wajar kalau ayah Marni menerima lamaran sang mantan pembunuh yang sebenarnya sudah beristri dua itu.
“Kasihan Marni akan dijadikan istri ketiga,” jelas penghuni gang itu. “Sebenarnya Marni masih ingin sekolah. Kasihan kalau belum lulus SD terpaksa harus kawin,” tambahnya.
“Makanya dia suka menari di sini. Kadang-kadang sampai malam. Untuk melupakan masalahnya,” timpal pemilik warung kecil.
“Di sekolahnya dia memang pandai menari. Pernah diikutkan lomba menari tingkat kecamatan mewakili sekolahnya,” ujar penghuni gang yang mengaku rumahnya bersebelahan dengan tempat tinggal Marni.
“Makanya dia suka menari di sini. Kadang-kadang sampai malam. Untuk melupakan masalahnya,” timpal pemilik warung kecil.
“Di sekolahnya dia memang pandai menari. Pernah diikutkan lomba menari tingkat kecamatan mewakili sekolahnya,” ujar penghuni gang yang mengaku rumahnya bersebelahan dengan tempat tinggal Marni.
Marni, cerita penghuni gang itu, dipaksa ayahnya berhenti sekolah, karena mau dinikahkan. Padahal, ketika itu ujian tinggal beberapa bulan lagi. Marni tentu kecewa berat. Berhari-hari dia mengurung diri di kamar. Kadang-kadang terdengar ia menangis.
Ibunya berusaha membujuknya, tapi Marni tetap ngambek. Sampai suatu hari ia tiba-tiba keluar kamar, keluar rumah, menyeberang jalan, dan menari-nari di depan warung mi yang memutar lagu-lagu dangdut.
Ketika mereka asyik berbincang, tiba-tiba gadis kecil itu, Marni, berlari kecil ke depan warung mi dan menari lagi seirama lagu dangdut. Dan, tiba-tiba seorang perempuan, mungkin ibunya, mengejarnya dan mencoba menghentikannya.
“Marni, ayo pulang!” ajak perempuan itu sambil memegang lengan anak itu.
“Nggak mau!” jawab Marni sambil terus menari.
“Sudah, Marni. Berhenti. Kayak orang gila saja!”
“Biarin!”
Marni masih menari. Ibunya tak tahu harus bagaimana menghentikan tariannya. Ia kemudian berbalik melangkah menghampiri seorang lelaki kurus yang sedang mengatur parkir di halaman toko swalayan tak jauh dari warung mi itu. Rupanya ia mau mengadukan kelakuan Marni ke bapaknya.
“Pak, itu anakmu joget terus kayak orang gila! Diajak pulang nggak mau,” katanya kepada lelaki tukang parkir itu.
“Wah, kamu gimana? Ngajak pulang anak aja nggak bisa!” kata tukang parkir itu. “Aku lagi repot nih. Yang ngatur parkir nggak ada.”
“Terus gimana, Pak. Kan malu-maluin.”
“Coba kamu bujuk lagi. Paksa dia kalau nggak mau! Seret pulang kalau perlu!”
Perempuan itu diam sesaat lalu balik melangkah ke arah Marni. Dia mencoba membujuk Marni lagi agar berhenti menari dan mau diajak pulang. Tapi, Marni tidak mau. Ia terus manari dan menari.
“Seret saja kalau tak mau!” teriak lelaki tukang parkir itu.
“Tuh, bapakmu marah, Marni. Ayo pulang!” timpal perempuan itu.
“Biarin!” jawab Marni sambil terus menari. Perempuan itu menarik lengan Marni, tapi gadis kecil itu berontak. Tarik-menarik terjadi beberapa saat. Marni lepas, hampir terjatuh.
Perempuan itu akhirnya putus asa, tak bisa mengajak anaknya pulang. Dengan perasaan masygul ia lantas duduk di trotoar menyaksikan anaknya menari.
Lagu-lagu dangdut dari warung mi itu terus membahana dan Marni terus menari dan menari. Akhirnya perempuan itu meninggalkan Marni, menari sendiri, tak henti-henti.(*)
Posting Komentar untuk "Gadis Kecil yang Tak Henti Menari | Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda "
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar