JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kebocoran anggaran penanganan Covid-19 yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Temuan kebocoran anggaran ini berupa pemborosan yang semestinya bisa dihindari Pemprov DKI Jakarta jika lebih teliti saat melakukan pengadaan barang.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2020, pemborosan yang ditemukan dalam anggaran penanganan Covid-19 ada dua, yaitu pengadaan alat rapid test Covid-19 dan pengadaan masker N95.
Baca juga: Fakta Pemborosan Rp 7 Miliar Anggaran untuk Pengadaan Masker dan Alat Rapid Test oleh Pemprov DKI
Kedua pemborosan bernilai miliaran rupiah itu memiliki pola yang sama, yaitu pengadaan alat kesehatan dengan harga yang lebih tinggi dari pengadaan yang sudah dilakukan sebelumnya.
Pemborosan pertama yaitu pengadaan alat rapid test Covid-19 senilai Rp 1.190.908.000 yang ditulis dalam sub judul Buku II Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemda DKI Jakarta Tahun 2020.
BPK menyebutkan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta membuat pengadaan alat rapid test dua kali untuk merek alat tes yang sama dan dalam waktu yang berdekatan.
Namun kejanggalan terjadi karena harga alat rapid test dengan merek yang sama itu berbeda.
Pengadaan alat rapid test jenis IgG/IgM pertama dilaksanakan oleh PT NPN dengan surat penawaran penyedia jasa tertanggal 18 Mei 2020 dengan nilai kontrak Rp 9.875.000.000 tidak termasuk PPN dengan jenis kontrak harga satuan. Pemprov DKI Jakarta melakukan pengadaan sebanyak 50.000 pieces dengan harga per unit Rp 197.500.
Kemudian pengadaan kedua alat rapid test Covid-19 jenis IgG/IgM dalam satu kemasan isi 25 tes merk yang sama yaitu merk Cungene dilaksanakan oleh PT TKM.
Baca juga: Temuan BPK: DKI Jakarta Bayar Gaji dan Tunjangan Kinerja Pegawai yang Sudah Wafat dan Pensiun
Surat penawaran dari penyedia jasa tertanggal 29 Mei dengan nilai kontrak Rp 9.090.090.091. Pemprov DKI kemudian mengadakan 40.000 pieces dengan harga barang per unit senilai Rp 227.272.
Ketimpangan harga itu kemudian diperiksa BPK. PT NPN yang sebelumnya memberikan harga lebih rendah hanya ditawarkan kontrak pengadaan sebanyak 50.000 pieces.
Padahal menurut temuan BPK, PT NPN sanggup jika ditawarkan tambahan pengadaan sebanyak 40.000 pieces dengan harga Rp 197.500, atau lebih murah dari tawaran PT TKM.
"Bila dilihat dari proses penunjukan di atas, maka seharusnya PPK (pejabat pemberi kebijakan) dapat mengutamakan dan memilih penyedia jasa sebelumnya yang mengadakan produk sejenis dan stok tersedia namun dengan harga yang lebih murah," tulis BPK.
BPK kemudian memberikan selisih harga yang dinilai sebagai pemborosan. Jika Pemprov DKI membeli di tempat yang lebih murah, maka ada selisih harga senilai Rp 1.190.908.000.
Pemborosan kedua terjadi di sektor yang sama, yaitu sektor pengadaan alat kesehatan. Kali ini Pemprov DKI kedapatan membeli masker dengan harga yang jauh lebih mahal hingga memiliki selisih Rp 5.850.000.000.
Temuan awal, Dinas Kesehatan DKI Jakarta pernah membeli masker N95 kepada PT IDS dengan harga satuan Rp 70.000 untuk pengadaan pertama sejumlah 39.000 pieces. Pengadaan kedua DKI Jakarta masih menunjuk PT IDS dengan harga yang diberikan lebih murah yaitu harga satuan Rp 60.000. Pengadaan kedua DKI hanya memesan 20.000 pieces.
Baca juga: BPK Temukan Pemborosan Rp 5,8 Miliar Proyek Pengadaan Masker N95 di Pemprov DKI Jakarta