Opini

Prof Toeti Heraty, Saya dan Perjumpaan-Perjumpaan Kami

Oleh : luska - Minggu, 13/06/2021 17:56 WIB

Photo courtesy: TEMPO Group

In Memoriam: Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi Roooseno

Oleh:  Pande K. Trimayuni

Kaget dan sangat sedih mendengar kabar hari ini Prof. Toeti Heraty berpulang dalam usia menuju 88 tahun. Angka yang sempurna penuh. Sepenuh dan sesempurna hidup yang beliau jalani. Perjalanan hidup Prof. Toeti menurut saya adalah “the perfect embodiment”, perwujudan sempurna dari lagu “My Way” nya Frank Sinatra.

“...I’ve lived, a life that’s full// I tavelled each and every highway//And more, much more than this//I did it my way...”

Prof. Toeti saya kenal terutama karena beliau adalah pengajar di kampus kami, Universitas Indonesia. Pertemuan intens dengan beliau terjadi dalam beberapa peristiwa. Salah satu yang sangat penting adalah ketika pada tahun 2003 saya diminta membandingkan Karya Prof. Toeti Heraty dan Pramoedya Ananta Toer yang kebetulan beliau berdua sama-sama pernah menulis tentang Calon Arang. Seperti diketahui Calon Arang adalah kisah klasik yang diyakini terjadi pada masa kerajaan Daha/Kediri di Jawa Timur yang sarat dimensi politik, filsafat dan budaya. Saya, Gadis Arivia, dan Max Lane (ahli politik dari Australia, penulis Unifinished Nation) akhirnya membahas karya Prof. Heraty dan Pak Pram di Taman Ismail Mardzoeki dengan moderator maestro filsafat Tommy F. Awuy.

Perjalanan menuju presentasi tersebut saya lalui dengan bertemu beberapa kali dengan Prof. Toeti Heraty dan juga Pramoedya Ananta Toer. Sungguh saya merasa sangat beruntung dapat belajar langsung dari dua tokoh super hebat sastra Indonesia tentang proses kreatif pembuatan karya mereka. Meneliti dan mempresentasikan pemikiran saya tentang karya mereka berdua adalah tugas kehormatan buat saya. Dan dapat dibayangnya dagdigdug nya saya ketika mengulas dan mengkritisi Calon Arang tepat dihadapan dua penulisnya yang mendengarkan secara langsung kata demi kata yang keluar dari mulut saya tentang karya mereka. 

Pak Pramoedya sendiri sudah wafat tahun 2006 yang lampau, tiga tahun setelah saya membahas karya Calon Arangnya.

Selanjutnya ada beberapa perjumpaan-perjumpaan singkat saya dengan Prof. Toeti, di ruang-ruang pameran, tempat-tempat pertemuan dan juga di rumah beliau. Salah satunya adalah saat saya dan Prof. Beth dari Washington University sedang mengadakan sebuah penelitian dan kami meminta masukan dari Prof. Toeti. Prof. Toeti mengajak kami berdiskusi sambil makan siang di kediaman beliau di Menteng, Jakarta Pusat.

Perjumpaan tatap muka langsung seingat saya terakhir terjadi Januari 2019 ketika kami berjumpa di sebuah acara di kawasan Senayan. Kebetulan, Prof. Toeti, Prof. Sulistyowati Irianto, Prof Riris Sarumpaet dan saya sendiri, kami berempat dapat duduk bersama di satu meja. Saat itu Prof. Toeti pas duduk disebelah saya. Dikarenakan acara yang molor, kami cukup lama bercakap-cakap tentang berbagai hal sejak sebelum acara sampai acara usai.

Selanjutnya perjumpaan kami secara online terjadi pada Januari 2021. Perjumpaan terakhir ini, kita hanya bicara tentang yang indah-indah, tentang kenangan, tentang puisi, tentang makna “rumah” bagi penyair, bersama teman-teman Poetry Writing Society of Indonesia. Tentang rumah, beliau berkata menjadi penyair setelah pindah dari rumah di Bandung dan tinggal di Jakarta. Tetapi rumah adalah monumen kenangan, tempat Prof. Toeti mengingat berbagai peristiwa, termasuk ketika Ibundanya dilukis pelukis termasyhur Basuki Abdullah di rumah ketika sedang hamil dan perutnya ditutupi selendang.

Prof. Toeti adalah panutan. Sungguh saya ingin masa tua seperti Prof. Toeti dimana tidak berhenti berkarya dan berkontribusi hingga saat terakhir. Kami juga adalah perempuan yang sama-sama mencintai jalan ilmu pengetahuan dan jalan seni. 

Seorang sahabat pagi ini bercerita, konon Prof. Toeti pernah berujar betapa senangnya jika beliau wafat, teman-temannya membuat puisi tentang beliau. Saya ambil ini sebagai sebuah amanat. Baik Prof, keindahanmu yang menyejukkan akan coba saya rangkai dalam syair. Kebetulan kami di UI ada kelompok pencinta puisi. Mudah-mudahan bisa saya bacakan dalam waktu dekat bersama kawan-kawan pegiat puisi. Selamat jalan Prof Toeti, sampai kita berjumpa kembali. Berjalanlah dalam terang menuju cinta yang sempurna, seperti dalam puisi Doa karya Prof Toeti Heraty:

“...Jalanlah dalam terang// jalanlah dengan lapang// ke istana mimpi dalam kekal ketiduran// dengan cita rasa harapan// dengan cinta sempurna// dalam renungan yang paling dalam...”

Ya Tuhan, tempatkanlah Prof. Toeti Heraty di tempat terindahMu. Saya bersaksi Prof. Toeti adalah guru, sahabat yang sangat baik, rendah hati dan selalu mendukung kemajuan dan kebaikan negeri ini. Dengarkanlah doa kami yang mencintainya. Terima kasih.

Pande K. Trimayuni, 13 Juni 2021

 

Artikel Terkait