Kenangan Ariel Heryanto Untuk Sahabatnya Intelektual Politik Arief Budiman
Berita meninggalnya Arief Budiman (hari Kamis 23/4/2020 di Ungaran Jawa Tengah) memukul batin bagi banyak orang.
Berita meninggalnya Arief Budiman, Kamis kemarin (23/4) di Ungaran, Jawa Tengah, memukul batin bagi banyak orang. Idola banyak pihak, khususnya generasi 1990-an di Indonesia.
Tapi ada sebuah tulisan Arief yang perlu diingat. Katanya, "hadirnya penjahat mau pun pahlawan ditentukan oleh kebutuhan masyarakat".
Bukan kualitas orang yang bersangkutan. Karena semua orang ada baik dan kekurangannya.
Ia memberi contoh Arief Rahman Hakim yang mati tertembak dalam demonstrasi mahasiswa (Angkatan 66) anti-pemerintahan Sukarno.
Kata Arief, waktu itu dibutuhkan pahlawan. Ketika Arief Rahman Hakim tertembak mati, ia diangkat jadi pahlawan.
Padahal para demonstran tidak ada yang kenal dia. Setengah bercanda, Arief menambahkan: mungkin ia tertembak karena terlambat tiarap. Atau ada peluru kesasar.
Dengan wawasan itu, saya mencoba mengenang Arief.
Kawan Dekat yang banyak berbagi
Setelah sembilan tahun merantau di Eropa dan Amerika Serikat, Arief kembali ke Indonesia tahun 1980.
Ia menjadi dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), ketika universitas di Salatiga itu sedang mendaki prestasinya.
Saya sendiri baru lulus di UKSW dan diangkat jadi dosen muda di sana. Saya termasuk yang paling awal menyambut kedatangannya di Salatiga.
Sejak bergabung kembali dalam satu kantor dengan Arief di Melbourne, saya saksikan Arief tidak merasa nyaman dan berbahagia.
Tidak seperti dulu di Salatiga. Bukan karena tempat kerjanya di Melbourne tidak baik. Tetapi ruang gerak untuknya sebagai aktivis atau intelektual publik sangat terbatas.
Tuntutan kerjanya sebagai seorang akademik/peneliti dan bebannya seorang birokrat tidak cocok dengan minat dan bakat utamanya.