kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kehadiran Si Juki menegaskan geliat industri animasi lokal


Rabu, 24 Januari 2018 / 09:25 WIB
Kehadiran Si Juki menegaskan geliat industri animasi lokal


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Produksi film kartun dalam negeri kian bergairah, ditandainya dengan peluncuran film Si Juki the Movie pada Desember 2017. Sebelumnya, film Battle of Surabaya juga sempat menarik perhatian para penggemar animasi dalam negeri.

Kemeriahan industri animasi dalam negeri tidak sebatas terpampang di layar lebar. Produk lokal itu juga kian eksis di saluran televisi lokal seperti Keluarga Somat, Adit & Sopo Jarwo, dan Kiko.

Bahkan, banyak pula kreator dan ahli animasi dalam negeri yang berhasil bergabung dengan rumah produksi internasional. Termasuk, misalnya, mereka ikut terlibat dalam pembuatan film The Avengers.

Menjamurnya para ahli animasi ini didorong dengan makin banyaknya perguruan tinggi yang membuka jurusan animasi. Berdasarkan data, jumlah studio animasi paling banyak berada di Jakarta yang mencapai 20 studio kemudian disusul Yogyakarta ada sembilan studio dan Bandung  delapan studio.

Nah, sektor industri animasi memang masih punya potensi untuk terus tumbuh. Doni P Juwono, Kepala Perwakilan BI Provinsi DKI Jakarta menyatakan, industri animasi di Jakarta saja tumbuh 5,7%.

Ardian Elkana, Ketua Umum Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia (Ainaki) pun mengamini hal tersebut. Industri ini pun  menjadi salah satu sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang hidup karena setiap orang dapat membangun satu usaha secara mandiri.

Ditambah lagi, jumlah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang cukup besar. Untuk tahun 2017 saja Pemerintah melalui Kementrian Perindustrian telah memberikan bantuan pelatihan di industri ini hingga 1.500 orang.  

Sayang, semua kelebihan itu ternyata tidak membuat industri ini bisa berlari kencang. Salah satu kendala utama adalah kekurangan modal yang membuat ekspansi bisnis terganggu.

Ini bisa terlihat dari keengganan bank, terutama bank BUMN, mengucurkan kredit ke industri animasi lokal dengan alasan risikonya masih tinggi. Padahal, industri ini butuh modal produk besar, termasuk investasi intelectual property.  "Perbankan tidak ingin menanggung risiko (bila produksi film gagal di pasaran)," katanya.

Pemerintah pun tampak enggan membantu permodalan dan akses investasi karena juga takut menanggung risiko. Asal tahu saja, untuk membangun satu IP butuh dana sekitar US$ 3,2 juta.

Maklum, industri animasi masih bergantung pada produk luar negeri.  Kalau pun sekarang tampak menggelit, hal itu tak lepas dari kehadiran dan sokongan modal dari angle investor serta sokongan modal dari rumah produksi dari mancanegara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×