Serikat Petani Indonesia: Kembali ke Jalan Kedaulatan Pangan, dan Reforma Agraria Sejati!

Jakarta, KPonline – Badan Musyawarah Tani Indonesia (BAMUSTANI) yang terdiri atas Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI) dan Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) mengeluarkan evaluasi kebijakan pertanian tahun 2016 dan rekomendasi untuk di tahun 2017. Gambaran kegiatan dibidang; agrarian, perdesaan, pertanian, dan pangan sepanjang tahun 2016 serta tren kebijakan pemerintahan Jokowi selama dua tahun, sudah dapat menjadi tolak ukur dalam mengevaluasi komitmen pemerintah terhadap Nawa Cita di sektor pertanian, serta meramalkan kondisi sektor pertanian ke depan.

Demikian disampaikan BAMUSTANI dalam siaran pers-nya yang diterima oleh KPoline, Kamis (19/1/2017).

Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, BAMUSTANI (Badan Musyawarah Tani Indonesia) mencatat bahwa berbagai program dengan tema kedaulatan pangan, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan hakikat kedaulatan pangan. Menurut Henry, program yang dijalankan tidak jauh berbeda dengan orientasi ketahanan pangan yang dijalankan pada periode-periode sebelumnya.

“Pendekatan program peningkatan produksi pangan yang dijalankan berorientasi pendekatan produksi semata, tidak mengikutsertakan penguatan dan pemberdayaan petani pangan; baik itu penguatan alat produksi atas kepemilikan tanah, dan sarana produksi lainnya, serta posisi tawar petani terhadap harga jual dan akses pasar,” papar Henry di Jakarta pagi ini (19/01).

“Jumlah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektar tidak berubah sama sekali,” katanya lagi.

Henry meneruskan, kebijakan Impor pangan yang sangat longgar, masih memberi celah terhadap impor pangan bagi pemburu rente perdagangan pangan.

“Dalam Perpres No.44 Tahun 2016, pemerintah masih membuka investasi modal asing di sektor usaha pangan (perbenihan dan budidaya) di atas 25 hektar, hingga maksimal kepemilikan 49%. Hal ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah untuk memperkuat pertanian pangan berbasiskan keluarga petani, dalam memproduksi pangan nasional,” tegasnya.

Henry juga menggarisbawahi kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) komoditas pangan sangat jauh dari harga jual petani di lapangan. Oleh karena itu, Ketua Umum SPI ini berharap ke depan pemerintah dapat menyerap beras petani dengan HPP multikualitas yang mempertimbangkan perbedaan baik berdasarkan musim, varietas dan perlakukan budidaya.

Sementara itu, Muhammad Nuruddin dari API mengemukakan, BAMUSTANI menganggap agenda redistribusi tanah (land reform) belum dijalankan hingga tahun kedua pemerintahan periode ini berjalan.

“Yang dijalankan justru program sertifikasi tanah, dan pembentukan bank tanah, sebagai bentuk agenda pasar untuk meliberalisasi pasar tanah,” tutur Nuruddin.

Nuruddin melanjutkan, perpres tentang reforma agraria sebagai landasan operasional pelaksanaan redistribusi tanah kepada petani belum juga diterbitkan. Tanpa adanya perpres tersebut, maka program redistribusi tanah (land reform) tidak memiliki pijakan untuk dijalankan. Sementara target capaian yang tertuang dalam RPJMN maupun Renstra, mentargetkan distribusi tanah kepada petani sepanjang tahun 2016 seluas 1,09 juta bidang atau seluas 2,18 juta hektar.

“Pemetaan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebagai objek tanah yang akan diredristibusi, tidak berjalan seperti yang ditargetkan dalam RPJMN maupun renstra pemerintah pusat,” tegasnya.

Nuruddin menambahkan, masifnya proyek infrastruktur dilakukan dengan pendekatan penggusuran dan kekerasan, justru menambah panjang daftar konflik agraria dan jumlah petani tak bertanah.

Rekomendasi

Agusdin Pulungan dari WAMTI menyampaikan, BAMUSTANI memperkirakan arah kebijakan sektor pertanian di tahun 2017 akan melanjutkan kebijakan tahun sebelumnya. Tema RKP tahun 2017 yang menitikberatkan pada pemerataan, menjadi tanda tanya besar bagaimana meraihnya. Tema besar ini bermakna positif, bahwa fokus pemerintah di tahun 2017 menitikberatkan pada tingkat kesejahteraan petani.

“Tentu akan sangat berat, mengingat tahapan tersebut mensyaratkan bangunan fondasi yang kuat. Fondasi yang dimaksud adalah, telah terpenuhinya pemerataan kepemilikan aset oleh petani, baik berupa tanah maupun alat produksi pertanian. Tanpa itu, maka capaian untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan petani akan sulit untuk diwujudkan,” katanya panjang lebar.

Oleh karena itu, Agusdin menyampaikan, BAMUSTANI memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah yakni untuk mewujudkan pemerataan, diperlukan fundamen yang kokoh berupa redistribusi kepemilikan aset berupa tanah. Karena itu, sejak awal tahun 2017 harus dimulai segera redistribusi lahan (land reform) 9 juta hektar kepada petani gurem.

“Sebanyak 43% (26,14 juta) rumah tangga di Indonesia adalah petani yang menggantungkan hidupnya disektor pertanian. Dan sebesar 14,62 juta (56,12 %) diantaranya adalah petani gurem, dengan kepemilikan lahan dibawah 0,4 hektar. Tanpa melakukan redistribusi aset berupa tanah (yang sangat fundamental), maka pemerataan kesejahteraan petani hanya mimpi belaka,” tegasnya.

Kustiwa Adinata dari Ikatan IPPHTI, menambahkan, BAMUSTANI juga merekomendasikan pemerintah untuk mendorong produktifitas pangan.

“BAMUSTANI berkesimpulan bahwa pemerintah harus merumuskan rangkaian kebijakan yang terintegrasi untuk menumbuhkan minat petani pangan, atau menarik gairah petani untuk beralih kepada komoditas pangan. Rangkaian kebijakan tersebut meliputi subsidi input pertanian agar terjangkau, jaminan harga yang menguntungkan dan jaminan pembelian, memotong rantai distribusi perdagangan pangan, membatasi impor secara bertahap dan konsisten demi melindungi produksi pangan dalam negeri, kemudahan akses terhadap hasil-hasil riset pertanian atas teknik budidaya dan teknologi pertanian, dukungan fasilitas riset dan laboratorium pertanian yang terjangkau oleh petani, dukungan terhadap pengembangan UKM pengolahan pangan, dan lainnya,” paparnya.

Kustiwa mengutarakan, BAMUSTANI merekomendasikan agar pemerintah segera membentuk kelembagaan pangan sebagaimana diamanatkan UU No. 18 Tahun 2012 tentang pangan. Selanjutnya Lembaga tersebut bertanggung jawab untuk menyusun rencana aksi pangan dan gizi, yang memuat strategi kebijakan lintas kementerian yang terintegrasi.

Kustiwa menutup, bahwa yang tidak kalah pentingnya adalah konflik agraria yang berkepanjangan dan menimbulkan banyak korban dipihak petani, perlu segera diselesaikan.

“BAMUSTANI menyimpulkan, mekanisme terbaik untuk menyelesaikan konflik agraria adalah dengan meredistribusikan atau mengembalikan lahan konflik tersebut kepada petani. Pemerintah tidak perlu alergi untuk meredistribusikan sebagian kecil lahan konflik agraria, dari sekian besar lahan yang diserahkan kepada korporasi dalam bentuk HGU maupun Hak Pakai atau Hak Kelola. Langkah ini harus dimulai dengan membentuk Badan Penyelesaian Konflik Agraria yang bertanggungjawab langsung dibawah presiden, dan memiliki kewenangan berkoordinasi dengan lembaga kementerian atau setingkat menteri,” tutupnya.