Ini Pelanggaran Pelindo II dan Rekayasa Analisa Keuangan

Pelindo II Lakukan Modernisasi di Lingkungan Pelabuhan Tanjung Priok
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Anggota Pansus Pelindo II DPR RI Nizar Zahro mengatakan Pansus Pelindo II mendalami kasus Pelindo dengan mengundang saksi ahli yang juga pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana untuk memberikan masukan demi mendalami kasus ini pada hari Selasa 24 November 2015.

Perlunya Pembiasaan Guilt and Shame Culture bagi Masyarakat Indonesia

"Dari hasil rapat Pansus banyak di temukan pemahaman yang sama dengan apa yang di sampaikan Tjipta Lesmana," ujarnya, Rabu 25 November 2015.

Menurut Nizar, dari beberapa dialog yang dilakukan ada banyak pelanggaran yang di lakukan Pelindo II.

Fungsi Sosial yang Melekat pada Hak Atas Tanah

"Ada pelanggaran yang dilakukan secara personal atau pribadi ataupun yang dilakukan oleh Pelindo II yang termasuk BUMN, salah satunya dibagi menjadi tiga bagian. Melanggar sumber hukum yang telah di tetapkan UU No 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan," ucap politisi Gerindra ini.

Berikut adalah tata urutan sumber-sumber hukum di Republik Indonesia:
1.    Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Amandemennya. (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
2.    Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Undang-Undang No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran di mana pasal 34 UU ini menyebutkan pengelolaan pelabuhan harus menggunakan konsensi. "Kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan BUMN wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU ini, yang mana dalam waktu tiga tahun sejak diundangkan, tepatnya Mei 2011, PT Pelindo I hingga IV, harus menyesuaikan, termasuk diberikan konsesi oleh pemerintah, ada pemisahan antara Badan Usaha Pelabuhan dengan Otoritas Pelabuhan. Regulatornya adalah Otoritas Pelabuhan dan itu di bawah Kementerian Perhubungan, dan Operatornya adalah Pelindo sebagai badan usaha pelabuhan.
3.    Peraturan Pemerintah RI No 64/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 61/2009 tentang Kepelabuhan. “Pasal 74 (1) Konsesi diberikan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. (2) Pemberian konsesi kepada Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau melalui penugasan/penunjukan.

Kepemimpinan Profetik, Transisi Kepemimpinan Nasional 2024

Ini baru dilakukan oleh pihak Pelindo II penandatanganan sudah ditandatangani pukul 13.00 WIB siang, Rabu 11 November 2015. “Klausulnya sama dengan penandatangan konsesi Pelindo I, III, dan IV pada Senin . Besaran fee konsesi dan masanya menunggu review dari BPKP, secara tidak langsung pihak Pelindo II mengakui kesalahannya karena telah memperpanjang kontrak dengan pihak HPH pada tahun 2014 sebelum konsesi di tanda tangani.

Dari hasil analisa keuangan dikatakan, bahwa bila kontrak pengelolaan JICT dengan HPH habis pada 2019 dan lalu diperpanjang, Indonesia hanya mendapat US$200 juta melalui PT Pelindo II. Apabila tidak diperpanjang, Deutsche Bank menilai Indonesia harus mengembalikan ke HPH sebesar US$400 juta. Asumsi itu muncul karena dihitung bahwa nilai aset JICT pada 2019 adalah US$800 juta. 51 persen saham JICR adalah milik HPH dan itu senilai US$400 juta.

Padahal sebenarnya, di kontrak yang diteken 1999, jelas tertulis, bahwa saat putus kontrak, maka Indonesia hanya wajib mengembalikan US$50-60 juta. Jadi bukan US$400 juta, meskipun logika DB diikuti, tetap saja Indonesia merugi. Praktiknya, Pelindo II hanya mendapat fee di muka US$200 juta. Artinya, aset hanya dinilai US$400 juta dan 49 persen saham Indonesia hanya dinilai US$200 juta.

"Kalau dianggap aset 49 persen, kita dapat US$200 juta, dari aset itu saja kita rugi. Dan bonusnya mereka mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kan uang hasil pengelolaan ke dia (HPH), sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara itu jika dia berpegang pada kontrak yang diteken dengan HPH di 1999. Dengan itu, Indonesia cuma membayar US$50-60 juta, kita 49 persen. Dan bonusnya mereka mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kan uang hasil pengelolaan ke dia (HPH). sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara itu jika dia berpegang pada kontrak yang diteken dengan HPH di 1999. Dengan itu, Indonesia cuma membayar US$50-60 juta,” kata Nizar.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya