Cermati inflasi agar studi di luar negeri lancar

Kamis, 08 Oktober 2015 | 14:30 WIB   Reporter: Sri Sayekti
Cermati inflasi agar studi di luar negeri lancar


Apakah Anda ingin melanjutkan studi atau menyekolahkan anak ke luar negeri? Kalau demikian, tentu Anda sudah mencari informasi, atau bahkan mengetahui, berapa biaya yang harus disediakan agar dapat menuntut ilmu di universitas tujuan.

Jika studi tersebut masih dilakukan beberapa tahun ke depan, apakah perkiraan biayanya masih sama dengan yang ada dalam catatan Anda sekarang? Nah, dalam hal ini Anda harus memperhitungkan apa yang disebut inflasi.

Inflasi, dalam artian singkat, adalah kenaikan harga barang atau jasa, yang disebabkan oleh mekanisme pasar. Jadi, kenaikan harga dapat terjadi lantaran pasokan yang terganggu, adanya kenaikan permintaan, dan sebagainya.

Selain itu, inflasi dapat pula diartikan sebagai penurunan nilai mata uang. Nah, bukankah hal ini yang sering terjadi sekarang, seperti pelemahan rupiah  terhadap dolar Amerika.

Faktor inflasi tentu harus masuk dalam perencanaan keuangan Anda untuk studi di luar negeri, terutama karena alokasi biaya menggunakan mata uang asing, bukan rupiah. Jangan sampai rencana berubah, karena terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, tepat saat Anda atau anak Anda masuk sekolah di manca negara. Asumsi inflasi idealnya diperhitungkan untuk perencanaan keuangan jangka menengah dan panjang.

Aidil Akbar Madjid, perencana keuangan dari Akbarfinancialcheckup bilang, pedoman dalam menghitung kenaikan biaya studi adalah dua kali inflasi rata-rata tahunan negara yang bersangkutan.

Namanya juga asumsi, tentu besarannya tidak bisa dipastikan. Itu sebabnya, penting bagi Anda untuk melihat catatan sejarah inflasi negara yang mau dituju.

Agar asumsi inflasi yang dipakai mendekati biaya riil, maka diambil rata-rata dari inflasi negara yang bersangkutan setidaknya lima tahun terakhir, sesuai ketersediaan waktu yang dimiliki. “Kalau kuliahnya masih tiga tahun lagi, maka ambil rata-rata inflasi selama lima tahun terakhir, supaya valid,” Aidil menyarankan. Dengan begitu, Anda lebih percaya diri menyusun perencanaan keuangan untuk tujuan tersebut.

Inflasi yang terjadi, dapat digolongkan menjadi empat jenis, yakni inflasi ringan (di bawah 10%), inflasi sedang (antara 10%–30%), inflasi berat (antara 30%-100%), dan hiperinflasi jika kenaikan harga yang terjadi lebih dari 100% per tahun.

Inflasi bukan satu-satunya faktor yang harus diperhitungkan untuk merencanakan alokasi biaya studi. Menurut Vonny Agustine, Deputy Director of Product Development Sun Education Group, selain dipengaruhi inflasi di negara bersangkutan, alokasi biaya juga akan dipengaruhi  kenaikan biaya operasional seperti tarif listrik, gaji dosen dan sebagainya. “Kisaran kenaikan biaya studi di luar negeri antara 5% hingga 10% tiap tahun,” jelas  Vonny memberi gambaran.

Vonny juga mengatakan bahwa kenaikan biaya ini biasanya berbeda-beda di tiap negara. Kenaikan biaya studi di Amerika Serikat saban tahun tergolong rendah yakni antara 3% hingga 5%. Sedangkan kenaikan biaya studi di Inggris berkisar 5% per tahun. Lain halnya dengan Australia kenaikan biaya studi terhitung tinggi yakni berkisar 10% tiap tahun.


Biaya hidup
Menghitung kenaikan biaya hidup lebih sederhana yakni dengan mengalikan biaya hidup saat ini dengan inflasi rata-rata tahunan. Tentu saja, jika Anda ingin belajar di Amerika Serikat yang punya banyak negara bagian, perkiraan biaya akan bergantung pada inflasi negara bagian yang bersangkutan.

Menurut pengalaman Aidil yang pernah studi di dua negara bagian di Amerika Serikat yakni Texas dan California, selisih biaya hidup bisa mencapai dua kali lipat.

Aidil mengenang, di negara bagian produsen minyak Texas, tahun 1992, harga BBM hanya US$ 0,70 per galon. Sedangkan harga BBM di California US$ 1,25 per galon. Ini berdampak pada biaya lain, seperti sewa apartemen yang lebih murah di Texas (US$ 500/bulan) daripada di California (US$1200/bulan). “Biaya hidup di negara-negara East Coast dan West Coast lebih tinggi ketimbang wilayah tengah,” kata Aidil.

Selain itu di negara bagian yang mengalami musim salju dipastikan memiliki biaya hidup lebih tinggi ketimbang daerah tropis yang punya dua musim.


Kiat berhemat
Salah satu faktor yang mempengaruhi besaran biaya hidup selama studi di luar negeri adalah lamanya masa studi. Di Australia dan Belanda masa studi untuk S1 hanya berlangsung tiga tahun. Jika termasuk dalam kategori berprestasi di Australia malah bisa langsung lompat ke jenjang S3.

Sedangkan di negara lainnya seperti Amerika masa studi S1 adalah empat tahun. Masa studi S1 yang lebih singkat akan menghemat biaya studi maupun biaya hidup.

Hal ini dialami Tessa  Ayuningtyas Sugito, lulusan S2 University of Helsinki, Finlandia. Setiap bulan biaya hidup yang dikeluarkan Tessa adalah EUR 500 hingga EUR 600. Cara berhemat yang dilakukan Tessa adalah menggunakan diskon pelajar 50% untuk transportasi yakni EUR 23,30 khusus di pusat kota Helsinki dan makan di kantin sekolah.


Cadangan biaya
Berkaitan dengan persiapan biaya, Anda sebaiknya mengalokasikan biaya cadangan. Gunanya adalah  untuk membayar beberapa pos yang semula  masih belum terpikirkan untuk dibayar segera.

Sekadar contoh, bagi calon mahasiswa di Belanda pada tahun pertama disediakan apartemen khusus mahasiswa baru yang sewanya lebih murah ketimbang apartemen biasa. Namun pihak kampus mensyaratkan pembayaran apartemen ini harus lunas setahun di muka.  

Cadangan biaya lainnya, saran Aidil, adalah ketersediaan dana untuk membayar asuransi kesehatan. Jadi tak perlu khawatir jika tiba-tiba jatuh sakit sudah tersedia asuransi.

Silakan masukkan inflasi dalam perencanaan keuangan studi Anda.                            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi

Terbaru