kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Animasi masih menjadi anak tiri


Sabtu, 05 September 2015 / 08:10 WIB
Animasi masih menjadi anak tiri


Reporter: Dadan M. Ramdan, Marantina | Editor: Tri Adi

Setelah menjalani proses produksi selama tiga tahun, film Battle of Surabaya akhirnya tayang di bioskop Tanah Air mulai 20 Agustus ini. Film animasi dua dimensi (2D) garapan MSV Pictures dan Amikom Yogyakarta ini diadaptasi dari peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Selain mengusung unsur nasionalisme, Battle of Surabaya  menjadi film produksi anak negeri yang pertama dilirik oleh production house ternama dunia, Walt Disney Pictures. Maklum, film tersebut dibuat dengan kualitas standar dunia.

Tak pelak, trailer film Battle of Surabaya diganjar sejumlah penghargaan dalam masa penggarapannya bersama sutradara Aryanto Yuniawan. Sebut saja,  penghargaan dari Digital Animation Indonesia Information and Communication Technology Award 2012, People’s Choice Award International Movie Trailer Festival  2014, dan Nominee Best Foreign Animation Award 15th Annual Golden Trailer Award 2014. “Film animasi Battle of Surabaya dibuat dengan standar internasional, mulai dari naskah dan alur cerita,” kata Aryanto.

Walt Disney untuk Asia Pasifik memberi banyak masukan dalam pembuatan Battle of Surabaya sehingga proses produksinya memakan waktu hingga tiga tahun. Tak cuma itu, Battle of Surabaya mendapat dukungan dari segi teknis dan distribusi film pada seluruh jaringan Disney di dunia.

Aryanto mengutarakan, proses produksi yang lama lantaran   pembuatan film animasi tidak mudah. Film animasi membutuhkan imajinasi yang tinggi, dukungan infrastruktur, dan peralatan canggih. Bahkan menyedot biaya sangat besar dan sumber daya manusia, yang sesuai dengan kompetensi industri film animasi dunia.


Dominasi impor
Sejatinya, potensi bisnis dari animasi sangat besar. M. Suyanto, Ketua STMIK Amikom Yogyakarta dan penulis Battle of Surabaya, mengakuinya. Dari sisi harga, film tiga dimensi (3D) Frozen bisa terjual US$ 1,274 miliar atau sekitar Rp 16 triliun. Adapun film Wind Rises besutan Studio Ghibli Jepang bisa laku US$ 188 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.

Nah, Battle of Surabaya sebagai karya anak negeri ini memang belum bisa menyamai angka itu. produksinya memakan waktu lama dan biaya sekitar Rp 15 miliar. Tapi Suyanto optimistis, film ini bisa terjual US$ 12 juta atau sekitar Rp 156 miliar. “Itu hanya 10% dari film Wind Rises, jadi pasti bisa,” ujar dia.

Adapun keuntungan jangka panjang yang bisa dihasilkan produk animasi, antara lain lisensi karakter. Suyanto mencontohkan tokoh Mickey Mouse yang sampai saat ini mendatangkan keuntungan lebih dari Rp 100 triliun. “Apalagi kalau animasi di-dubbing ke berbagai bahasa. Potensi untungnya bisa datang dari berbagai negara,” ungkapnya.

Suyanto membeberkan, persaingan bisnis animasi di dalam negeri belum terlalu ketat. Makanya, ketika memproduksi Battle of Surabaya lebih memilih format film layar lebar. Pertimbangannya, di Indonesia secara komersial masih sangat sedikit animasi layar lebar yang tayang di bioskop. “Bahkan, di luar negeri pun masih bisa dihitung dengan jari,” imbuhnya.

Memang, prestasi film Battle of Surabaya yang mendapat apresiasi dari jaringan Disney patut diacungi jempol. Pasalnya, industri animasi dalam negeri bisa dibilang masih tetap dianaktirikan dan dipandang sebelah mata.

Tengok saja, hampir semua saluran televisi nasional memutar film animasi impor. Kalau bukan asal Jepang, Korea, dan Tiongkok tentu film-film garapan sutradara dari Amerika Serikat. “Hanya nol koma berapa persen, lah, film animasi yang lokalnya tayang di televisi,’  sebut Eko Sucianto, Manajer Animasi PT Rumah Animasi.

Alhasil, peta bisnis industri animasi di Indonesia tetap didominasi produsen animasi asing,  yang seakan produknya terus membanjiri ranah hiburan domestik. Kondisi ini sejalan dengan berkembangnya industri broadcasting di Indonesia sehingga slot penayangan film animasi ikut membesar.

Sayang, peluang pasar yang besar ini tidak bisa dinikmati studio-studio animasi lokal meski mulai banyak bermunculan. Problemnya, kalah pamor dengan produk animasi impor. Andre Surya, Founder Enspire Studio, menyayangkan Indonesia yang kerap mengimpor produk animasi. Tak cuma itu, banyak iklan bernilai miliaran rupiah yang sebenarnya bisa dikerjakan perusahaan lokal malah diserahkan ke perusahaan animasi luar negeri.

“Padahal dari segi biaya, produk dalam negeri lebih murah dengan kualitas yang hampir sama dengan karya orang luar,” tutur Andre yang sempat ikut menggarap film Transformer, Iron Man, Star Trek, dan Terminator ini.

Menurut Eko, ada beberapa faktor kenapa film animasi lokal belum menjadi tuan di rumahnya sendiri. Pertama, jumlah animator yang memiliki kualifikasi industri animasi global masih sedikit. “Memang ada beberapa animator hebat dari Indonesia yang ikut menggarap film-film box office, tapi sedikit,” sebutnya.

Kedua, biaya produksi mahal sedangkan harga film animasi impor murah. Ini menjadi pertimbangan bisnis perusahaan televisi lebih tertarik membeli film impor. Eko mencontohkan, untuk satu episode film animasi 2D berdurasi 24 menit menghabiskan biaya produksi Rp 60 juta–Rp 70 juta.

Adapun film animasi impor dengan durasi yang sama harganya hanya Rp 5 juta per episode. “Biaya produksi masih tinggi akibat kekurangan animator andal, infrastruktur dan peralatan yang masih dilakukan manual,” tuturnya.

Ketiga, modal minim. Industri animasi membutuhkan investasi modal yang sangat besar karena komponen biaya produksinya banyak. Eko mengungkapkan, untuk film animasi layar lebar malah biaya produksi paling sedikit Rp 3 miliar.   

Keempat, lemah dalam jaringan pemasaran dan distribusi. Rata-rata studio animasi lokal tidak memiliki jaringan pemasaran dan distribusi untuk menembus televisi dan bioskop. Hal ini diperparah dengan regulasi yang kurang berpihak kepada industri animasi dalam negeri. Beda halnya dengan Tiongkok yang mewajibkan perusahaan broadcasting memberikan slot khusus bagi film animasi lokal tanpa dasar rating dalam penayangannya.

Tapi, di Indonesia, sistem pasar yang berlaku. Produk animasi lokal harus bersaing dengan animasi impor. “Tak ada jaminan bisa terus tayang. Filmnya bagus pun akan ditendang kalau rating dan iklannya kurang,” keluh Eko.                    
    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×