Jogja
Kamis, 30 Juli 2015 - 06:20 WIB

HUKUMAN MATI KORUPTOR : Ulama NU Keluarkan Fatwa Hukuman Mati Koruptor

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bus antikorupsi Corruptour Monterrey di Meksiko. (Autoevolution.com)

Hukuman mati koruptor dilontarkan oleh Alim ulama NU.

Harianjogja.com, JOGJA-Alim ulama Nahdlatul Ulama (NU) kembali mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi koruptor. Hal itu diungkapkan dalam konferensi pers Halaqah Nasional Alim Ulama Nusantara yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian di Hotel Santika Jogja, Rabu (29/7/2015). Fatwa yang dikeluarkan kali ini membahas lebih detail tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Advertisement

Salah satu Alim Ulama Nusantara Umar Farouq menyatakan hukuman mati untuk pelaku tindak pidana korupsi tertuang dalam mazhab Hanafi dan Maliki.

“Syaratnya longgar, asal dilakukan terus menerus,” ujarnya. Menurutnya, fatwa ini baru dikeluarkan sekarang karena menunggu keadaan darurat. Sejak dulu sudah terlintas tentang hukuman mati, akan tetapi hukuman ini juga harus mempertimbangkan hak asasi manusia. “Sekarang sudah tepat fatwa ini dikeluarkan,” tegas Umar.

Rais Syuriah PBNU Ahmad Ishomuddin mengatakan hukuman maksimal bagi pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang berupa hukuman mati, yang dapat diterapkan apabila tindakan tersebut dilakukan ketika negara dalam keadaan bahaya, krisis ekonomi, krisis sosial, atau dilakukan secara berulang-ulang. Penyelenggara negara atau penegak hukum yang melakukan tindakan tersebut, jelas dia, harus diperberat hukumannya sebab mereka seharusnya menjadi teladan. Ia tidak menampik, kendala dalam penerapan hukuman mati untuk koruptor terganjal keberanian hakim.

Advertisement

“Penjatuhan hukuman mati tergantung dari keputusan hakim, walaupun ada orang berulang-ulang melakukan korupsi belum ada hakim yang berani memvonis hukuman mati,” terangnya. Oleh karena itu, tegas Ahmad, fatwa yang tertuang dalam rekomendasi ini sebagai peringatan kepada aparat penegak hukum untuk lebih serius menangani kasus korupsi.

Ia menguraikan, tindak pidana korupsi meliputi, penggelapan, penyuapan, pencurian, penguasaan ilegal, penjarahan atau perampasan, penyalahgunaan wewenang, memakan harta haram, perampokan, dan mengaburkan asal-usul harta yang haram.

Diakuinya, belum semua kiai NU mengerti tindak pidana korupsi, sehingga tak jarang mereka menerima pemberian dari seseorang dan menganggap itu sebaga hadiah. Dicontohkannya, musim pemilihan kepala daerah, para calon meminta restu dari kiai dan sebagian memberi hadiah. Para kiai tidak sadar kalau hadiah itu ternyata dimaksudkan untuk menyuap. Untuk mengantisipasi hal-hal semacam itu, jabarnya, kurikulum anti korupsi di pesantren sedang diracancang danakan diusulkan pada Mukatamar NU di Jombang pada awal Agustus.

Advertisement

“Menyelamatkan NU dari korupsi berarti ikut menyelamatkan Indonesia dari korupsi,” tegasnya.

Ketua Bidang Non-Litigasi Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Pengurus Wilayah NU (PWNU) DIY Hifdzil Alim memaparkan setahun lalu pernah melakukan riset tertutup di kalangan kiai dan pesantren.

“Ternyata para kiai masih tidak mengerti hukum positif tindak pidana korupsi,” ujarnya. Ia memperkirakan terdapat 10% dari kiai yang menjadi objek penelitian yang belum memahami hal tersebut. Hifdzil menambahkan, hasil riset tersebut menjadi dasar untuk melakukan pencegahan supaya kiai tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi. “Kiai menjadi center di masyarakat sehingga perlu memiliki pemahaman lebih tentang tindak pidana korupsi,” katanya.

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Q Wahid berencana membangun gerakan anti korupsi di pesantren melalui gerakan laskar santri anti korupsi di beberapa kota mulai Agustus besok.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif