Seri Walisanga: Kisah Perampok Budiman di Hutan Jatiwangi

Ilustrasi Walisanga
Sumber :
  • Wikipedia
VIVA.co.id
Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol
- Sunan Kalijaga aslinya bernama Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita. Tumenggung Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk Islam.

Cerita Bung Karno Jadi Model Patung Bundaran HI

Kisah yang menjadi legenda adalah saat Raden Said bertemu Sunan Bonang. Karena sesuatu peristiwa Raden Said diusir dari kadipaten. Ia pada akhirnya dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok budiman.
Pria Ini Sampaikan Kemerdekaan Indonesia ke Dunia


Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokannya itu tak pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampok hanya para hartawan atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar zakat.

Di Hutan Jatiwangi, sekarang di antara Kudus-Pati, dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya. Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.

Terus diawasinya orang tua berjubang putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.


Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu.


“Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan,” katanya.


“Bukan tongkat ini yang kutangisi," ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya. "Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi.”


“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?” tanya Raden Said, heran.


“Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa,” jawab lelaki itu.


Hari Raden Said bergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu.


“Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?”


“Saya menginginkan harta?”


“Untuk apa?"


“Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.”


“Hem… Sungguh mulia hatimu, sayang caramu mendapatkannya keliru.”


“Orang tua, apa maksudmu?”


“Boleh aku bertanya anak muda? Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”


“Sungguh perbuatan bodoh, hanya menambah kotor dan bau pakaian saja,” jawab Radeb Said.


Lelaki itu tersenyum, “Demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing”.


Lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”


Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.


“Kalau kau tak mau kerja keras dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”


Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir. Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.


Tapi setelah mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi emas.


Raden Said terdiam beberapa saat ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.



Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya