Mungkinkah 'Gempa Nepal' di Indonesia?

Reruntuhan bangunan akibat gempa di Nepal
Sumber :
  • REUTERS/Navesh Chitrakar

VIVA.co.id - Gempa 7,8 Skala Richter (SR) yang mengguncang Nepal hingga menyebabkan ribuan orang tewas pada Sabtu, 25 April 2015, akhir pekan lalu, memberi peringatan bahwa bencana serupa juga akan terjadi di daerah-daerah yang memiliki kondisi geologi dan kontur tanah yang mirip dengan Nepal.

Secara umum, Nepal merupakan negara yang akrab dengan bencana gempa bumi. Hal itu merupakan konsekuensi dari letaknya yang berada di kawasan pegunungan Himalaya dan berada di lempeng tektonik India yang berada di Asia Tengah (lempeng tektonik Eurasia). Tak heran, Nepal dijuluki sebagai salah satu daerah seismik paling aktif di dunia.

Pusat gempa Nepal ini berada di sekitar 81 kilometer ke arah barat laut dari Ibukota Nepal, Kathmandu, dengan kedalaman yang relatif dangkal, hanya 15 kilometer dari permukaan tanah. Gempa dangkal ini mengakibatkan guncangan terasa sangat parah di permukaan, dalam sekejap meluluhlantakkan bangunan dan menewaskan banyak korban.

Kuatnya guncangan gempa di Nepal hingga mencapai skala 9 MMI ini bisa terjadi karena wilayah sekitar Kathmandu yang terbentuk dari lapisan tanah lunak, yang dahulu adalah danau purba. Dengan guncangan sekeras itu, bangunan yang berdiri di atas lapisan tanah lunak ini dapat hancur seketika.

Kondisi serupa sebenarnya ada di Indonesia. Peneliti bumi dan mitigasi bencana geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan ada kesamaan kondisi geologi dan kontur tanah antara Nepal dan sejumlah daerah di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Palu, Sulawesi Tengah.

Irwan menjelaskan, kontur tanah di Indonesia memiliki kesamaan ciri dengan Nepal, yakni berupa sedimen tanah lembut yang sangat labil dan mudah longsor. Dengan kondisi kontur tanah seperti itu, guncangan gempa, terutama gempa darat sangat mudah menyebabkan kerusakan dan pemicu jatuhnya banyak korban.

"Ini perlu diwaspadai mengingat, gempa besar seperti yang terjadi di Nepal sangat mungkin terjadi di Indonesia," kata Irwan, Selasa, 28 April 2015.

Irwan yang tergabung dalam Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) menuturkan, gempa besar di Nepal berpotensi mengguncang sejumlah daerah di Indonesia, seperti diketahui Nepal, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Palu, memiliki kemiripan kontur tanah, di mana wilayahnya merupakan bekas danau, dan beralas tanah endapan.

"Faktor amplifikasi seperti yang terjadi pada saat gempa Nepal, atau gempa Yogyakarta 2006, dan gempa Sumbar 2009, mungkin juga dialami beberapa kota di Indonesia yang ditutupi oleh sedimen halus yang tebal, seperti Kota Bandung," ujarnya.

Gempa yang terjadi di Nepal juga pernah terjadi Yogyakarta pada 27 Mei 2006 silam. Gempa berkekuatan 6,5 SR dengan kedalaman hanya 17 km menghancurkan pemukiman padat penduduk dan menewaskan ribuan orang. Parahnya dampak gempa juga dipicu kontur tanah Yogyakarta yang labil karena berasal dari endapan vulkanik.

Sementara di Bandung, ketebalan endapan tanah di Bandung yang berada di wilayah bekas danau purba sekitar 400-500 meter. Adapun ancaman gempa tektonik atau daratan di Bandung terdapat di patahan Lembang. "Potensi kekuatan magnitudonya ada di skala 6,8 Mw," terang Irwan.

Irwan menegaskan, gambaran kerusakan rumah di Bandung pernah terlihat di daerah utara saat gempa tektonik di Tasikmalaya pada 2009 lalu. Kerusakan di Bandung merupakan amplifikasi gempa dari tanah endapan.

Sedangkan untuk Jakarta, meski Irwan menyebutnya berpotensi mengalami guncangan hebat karena beralas tanah endapan, namun sumber gempa terdekatnya tak seperti patahan yang ada di Bandung, Yogyakarta dan Palu. Sumber gempa Jakarta berasal dari lempeng tektonik Sunda Megathrust.

"Kondisi tektonik yang kompleks, maka potensi gempa besar memungkinkan berbagai tempat di Indonesia," ucapnya.

Siaga Bencana

Berdasarkan hasil pengamatan tim geologi ITB, Irwan menyatakan gempa dengan skala besar yang terjadi di daratan seperti di Nepal, dapat menimbulkan kerusakan hebat, karena pusat gempa yang berada di daratan.

Hal ini sangat berbeda, dengan gempa besar yang pusatnya berada di lautan. Gempa lautan tidak menimbulkan kerusakan hebat layaknya gempa di darat.

Gempa yang terjadi di Nepal ini terjadi akibat pertemuan dua lempeng India bagian selatan, dengan lempeg Eurasia bagian utara. Lempengan itu bergerak terus dengan kecepatan rata-rata 4 hingga 5 cm per tahun. Ketika lempengan itu bertemu menghasilkan Himalaya dan beberapa pegunungan lain.

"Akibat pertemuan lempeng ini pun menghasilkan gempa, dan gempa itu sebetulnya sudah beberapa kali terjadi gempa besar di wilayah tersebut," ujarnya.

Di indonesia pun banyak wilayah-wilayah pertemuan lempeng yang bagi para peneliti disebut zona tunjaman. Zona di mana, wilayah lempeng masuk ke wilayah lempeng yang lain. "Biasanya lempeng samudera masuk di bawah lempeng benua seperti di Pantai Selatan Jawa atau Pantai Barat Sumatera," terang Irwan.

Belajar dari Nepal dan Yogyakarta, menurut Irwan, sudah saatnya Indonesia berbenah, menyiapkan segala kemungkinan yang muncul akibat gempa. Sehingga tidak timbul banyak korban jiwa. Apalagi, sejumlah daerah yang disebut berpotensi terdampak gempa mayoritas adalah daerah yang padat penduduk.

"Karenanya beberapa kota besar dengan penduduk padat di Indonesia, harus dipersiapkan infrastrukturnya untuk menghadapi guncangan keras akibat gempa," kata Irwan.

Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho, mengamini pernyataan Irwan dengan menhimbau kepada seluruh elemen masyarakat untuk selalu waspada terhadap segala potensi bencana yang bisa datang sewaktu-waktu.

"Kita harus mengambil pembelajaran setiap bencana, seperti halnya gempa 7,8 SR di Nepal," kata Sutopo dalam rilisnya.

Sebagaimana diketahui, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), melaporkan sejak Sabtu, 25 April 2015 hingga Minggu, 26 April 2015, telah terjadi 4 kali gempa mengguncang beberapa wilayah Indonesia.

Gempa pertama terjadi di 14 Km Tenggara Maluku Barat Daya dengan kekuatan 5 skala richter (SR). Kedua terjadi di 88 Km Barat Laut Pulau Morotai, Maluku Utara dengan kekuatan 5,5 SR. Gempa selanjutnya mengguncang 83 Km Tenggara Sumba Timur, NTT dengan kekuatan 5.2 SR. Terakhir adalah gempa yang terjadi di 62 Km Barat Daya Pesisir Selatan Sumatera Barat dengan kekuatan 5.2 SR.

Meski disimpulkan sebagai gempa berkekuatan lemah, namun pemerintah mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada, mengingat Indonesia merupakan daerah rawan gempa.

Gempa 5,3 SR Melanda Lampung

Ancaman Gempa Nepal

Gempa hebat 7,9 SR yang mengguncang Nepal sebenarnya sudah diprediksi jauh sebelumnya. Peneliti dari CEA Research Laurent Bollinger menemukan pola gempa yang sama seperti yang terjadi di Nepal 700 tahun lalu. Turunan gempa ditransfer ke wilayah bagian lain. Ini yang akan terakumulasi dan menyebabkan gempa ratusan tahun kemudian.

Malah, gempa dengan pola yang sama, terakhir kali terjadi pada 1934. Kala itu, gempa yang muncul berkekuatan 8 skala richter dan hampir menghancurkan kota Kathmandu, Bhaktapur, dan Patan.

Bollinger mengaku telah mengutarakan temuan ini dua minggu sebelum gempa pada tanggal 25 April ini terjadi dan menewaskan ribuan orang. Dia telah melakukan penelitian sejak dua bulan lalu, saat sedang mempelajari fragmen batu arang yang tertimbun di sepanjang garis utama wilayah, berada 1.000 kilometer dari Barat ke Timur Nepal.

"Kami melihat ada indikasi dua gempa besar yang muncul 700 tahun lalu. Ini merupakan efek domino dari regangan gempa yang menjalar sepanjang wilayah yang rusak. Penanggalan karbon dari arang yang kami teliti menunjukkan, rekahan batu tidak bergerak sejak 1344. Namun segmen lainnya dari rekahan itu, yang terdapat di sepanjang timur Kathmandu, diperkirakan telah mengalami gempa besar pada 1255, dan baru-baru ini pada 1934," kata Bollinger seperti dikutip IB Times UK, Senin, 27 April 2015.

Ilmuwan ini memperkirakan, gempa lebih kuat akan terjadi kapan saja dalam beberapa dekade mendatang. "Gempa yang lebih dahsyat akan muncul dalam beberapa puluh tahun ke depan, menimpa bagian selatan dan barat," ujar geofisikawan dari Prancis ini.

Setelah gempa muncul di wilayah Timur pada 1255, regangan gempa merupakan akumulasi sejak 89 tahun lalu, menjalar ke wilayah barat dan akhirnya pecah pada 1344. Hal yang sama juga menyebabkan gempa di wilayah Timur pada 1934 dan mengakibatkan regangan menjalar lagi ke arah Barat. Gempa yang terjadi kemarin merupakan hasil akumulasi regangan selama 81 tahun.

"Kemungkinan akan ada gempa lainnya menyusul," ujar Bollinger memperingatkan.

Menurut kalkulasi awal Bollinger, gempa yang terjadi dengan magnitud 7,9 skala richter pekan kemarin dianggap tidak terlalu besar untuk meretakkan semua jalan ke permukaan. Oleh karena itu mereka yakin akan semakin banyak regangan yang muncul dan dapat mengakibatkan gempa yang lebih besar lagi beberapa dekade ke depan.

"Kita bisa lihat jika Kathmandu dan Pokhara akan menjadi wilayah dengan paparan gempa paling besar. Seperti yang pernah terjadi tahun 1344 lalu, antara dua kota," ujar kolega Bollinger, Paul Tapponnier dari Earth Obsevatory of Singapore.

Bollinger mengaku telah memberitahukan laporan ini ke Nepal Geological Society, dua minggu sebelum gempa terjadi kemarin.

Gempa baru-baru ini muncul di batasan antara lempeng India dan Eurasia. Keduanya konvergen karena lempeng India bergerak 45 milimeter per tahun di bawah lempeng Eurasia. Malah, pergerakan ini juga telah meningkatkan permukaan Himalaya.

Pangeran Harry disambut Perawan Nepal

Di Nepal, Pangeran Harry Disambut Lima Perawan

Salah satu gadis muda ini mengaku bahagia bertemu dengannya.

img_title
VIVA.co.id
21 Maret 2016