kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Genjot profit dari produksi kaus bersepeda


Kamis, 29 Januari 2015 / 14:28 WIB
Genjot profit dari produksi kaus bersepeda
ILUSTRASI. Cara Restart Laptop Windows lewat Keyboard, Ada Shortcut hingga Shutdown. KONTAN/Fransiskus Simbolon/05/11/2017


Reporter: Marantina, Pradita Devis Dukarno | Editor: Tri Adi

Yang namanya hobi ternyata tak hanya mendatangkan kesenangan bagi para pelakunya. Hobi sudah terbukti bisa mengisi pundi-pundi penghasilan. Salah satunya ialah hobi berolahraga. Pasalnya, bagi orang-orang yang memang gemar berolahraga, perlengkapan seperti pakaian olahraga atau peralatan penunjang lainnya sudah jadi kebutuhan.

Nah, bila Anda gemar berolahraga, terutama bersepeda, ada peluang usaha yang cukup menjanjikan untuk digeluti, yakni memproduksi pakaian olahraga (jersey). Di tengah maraknya merek luar negeri, kaus bersepeda buatan lokal mampu bersaing. Dari segi kualitas, perbedaan barang lokal dan barang impor tidak begitu jauh. Padahal, harga jersey lokal sudah pasti lebih terjangkau dari segi harga.

Itulah yang dituturkan oleh Andre Firmansyah, pemilik PT SAB Indo Industry di Cimahi, Jawa Barat. Sejak 2008, Andre menggemari olahraga bersepeda. Hampir tiap pekan ia habiskan dengan bersepeda. Namun, baru 2010 ia mulai merintis usaha pembuatan kaus bersepeda. “Saat itu saya bekerja sama dengan rekan yang punya konveksi. Jadi saya fokus memasarkan jersey berdasarkan order dari klub sepeda atau event korporasi,” ucap dia.

Untuk mengembangkan usaha, pada awal 2013, Andre memulai sendiri produksi kaus dengan merek Speed. Akan tetapi, usahanya sempat mandeg. Pasalnya, Andre membuat kaus dengan kualitas serta harga yang tinggi. “Selama enam bulan, usaha saya tidak maju bahkan hampir bangkrut karena ternyata pasar belum terlalu menerima jersey lokal yang berkualitas tinggi,” kata dia.

Lalu, pada medio 2013, ia mendapat tawaran kerja sama dari perusahaan asal Malaysia. Andre diminta memproduksi jersey yang akan dijual dengan merek negara tersebut.

Lantas, Andre pun menyanggupi supaya usahanya terus berjalan. Padahal, kata dia, pasar yang disasar perusahaan Malaysia itu sebenarnya adalah masyarakat Indonesia. Demikian juga halnya ketika ia bekerja sama dengan perusahaan pakaian olahraga asal Singapura.

Sejak akhir 2013, Andre pun mulai memproduksi brand sendiri. “Jadi, kami memproduksi merek sendiri tapi tetap bekerja sama dengan perusahan lain dan menerima orderan untuk jersey korporasi dan klub sepeda,” jelasnya.

Harga jual kaus bersepeda Speed berada di kisaran Rp 150.000-Rp 250.000 per potong. Andre bilang pabriknya bisa memproduksi 100 potong saban harinya. Tak heran, ia bisa mengantongi omzet lebih dari Rp 100 juta per bulannya.

Kisah Andre tak jauh berbeda dengan Kiki Bimasakti, pemilik Dirtworks di Bandung, Jawa Barat. Kiki mengaku sudah mulai menjual kaus untuk bersepeda sejak 2007. Maklumlah, Kiki sudah lama menggemari olahraga sepeda gunung. Bahkan, ia bergabung dengan komunitas penggowes sejak lama.

Saat itu, kebanyakan kaus dan perlengkapan bersepeda harganya mahal karena barang impor. Lantas, dia memutuskan untuk memulai usaha pembuatan kaus lokal yang berkualitas, sebagai alternatif bagi para pehobi sepeda.

Awalnya semua proses produksi, mulai dari percetakan hingga jahit diserahkan ke pihak ketiga. Jadi, Kiki fokus pada urusan pemasaran. Namun, karena permintaan semakin banyak, dia akhirnya memproduksi sendiri kaus, celana sepeda, dan peralatan pesepeda dengan merek Dirtworks. “Sekarang, hanya proses menjahit saja yang saya sub-kontrak, yang lain saya kerjakan sendiri agar lebih efisien,” ujarnya.

Kiki menjelaskan, dari sisi segmentasi, sebenarnya penggemar olahraga sepeda tidak sebanyak sepak bola atau bulutangkis yang lebih umum bagi masyarakat Indonesia. Dus, pemain dalam usaha ini tak bisa hanya mengandalkan produksi kaus untuk olahraga sepeda. Rata-rata produsen jersey juga mengincar penggemar olahraga menembak atau memancing yang juga butuh kaus.

Harga jual kaus Dirtworks berkisar Rp 200.000–Rp 250.000 per potong. Ia juga menjual aksesori untuk pehobi sepeda seperti dompet dan tas dengan harga Rp 195.000–Rp 215.000 per potong. Dalam sebulan, Kiki memproduksi 500 potong kaus. “Dari penjualan kaus saja, saya bisa mendapat omzet hingga
Rp 75 juta, sedang total omzet bisa mencapai Rp 90 juta,” tutur Kiki. Laba bersihnya lumayan menggiurkan, karena bisa mencapai 45% dari omzet.

Menariknya, kaus merek lokal itu juga dipasarkan di luar negeri. Andre bilang ia punya reseller di Malaysia dan Singapura. Demikian juga, dari penjualan via online, produk Speed dan Dirtworks sudah menembus pasar luar negeri, seperti Brunei Darussalam, Australia, Spanyol, hingga Prancis.

Merek kaus lokal lainnya ialah Hardside yang dirintis sejak 2010. Bagja Waluya, Manager Hardside, mengatakan, tiap tahun terjadi peningkatan permintaan untuk kaus lokal. Dibandingkan tahun lalu, permintaan kaus merek Hardside melambung hingga 45%.

Menurut Bagja, peluang usahanya sangat besar karena di Indonesia belum terlalu banyak produsen yang punya merek sendiri. Karena itu, pemain di usaha ini sebaiknya mengembangkan kreativitas dengan mendesain sendiri kaus yang akan dijual karena akan jadi nilai tambah bagi pembeli.

Saat ini, Hardside memproduksi kaus lokal dengan kisaran harga Rp 200.000–Rp 225.000 per potong. Ada juga produksi celana dengan harga serupa, serta peralatan lainnya seperti sarung tangan, hoodie, windbreaker yang harganya ratusan ribu rupiah. Adapun kapasitas produksi Hardside sekarang mencapai 1.000 potong per bulan dengan laba bersih 30%.


Andalkan mesin

Anda tertarik menjajal bisnis ini? Untuk membuat kaus olahraga yang berkualitas, ada banyak faktor yang perlu diperhatikan. Andre menuturkan, kualitas kaus ditentukan oleh bahan baku serta mesin yang digunakan. Bahan baku utama adalah benang poliester, tinta, serta kertas cetakan.

Bahan baku tersebut bisa didapat di dalam negeri. Namun, bila mengutamakan kualitas, bahan baku seperti tinta dan kertas untuk mencetak bisa diimpor dari Jepang atau Korea Selatan. “Harganya memang lebih mahal tapi kualitasnya lebih bagus. Bahkan merek-merek impor juga menggunakan bahan dari kedua negara tersebut,” kata Andre.

Adapun investasi terbesar untuk usaha ini terserap oleh pembelian mesin. Pasalnya, untuk membuat kaus olahraga, ada beberapa mesin yang harus dimiliki, mulai dari mesin cetak atau printer, hit press, mesin potong, dan mesin jahit, termasuk mesin obras dan overdeck.

Andre mengaku membeli mesin cetak dari Jepang seharga Rp 350 juta. “Mesin yang lebih murah ada tapi kualitasnya tentu di bawah, sehingga saya tak bisa menjual kaus dengan harga yang kompetitif,” ucap dia.

Ia menjelaskan proses pengerjaan kaus terdiri dari tahap desain, pencetakan, sublimasi hingga penjahitan. Awalnya, desain dicetak pada kertas khusus. Lalu, ada proses sublimasi, atau transfer dari kertas ke kain poliester dengan mesin press. Setelah itu, kain dipotong sesuai pola dan dijahit.

Kiki menggunakan dana hingga Rp 300 juta untuk memulai usahanya. Modal awal itu terpakai untuk membangun tempat produksi serta membeli mesin percetakan dan press. Belum sampai setahun, Kiki sudah balik modal. Sementara untuk membeli mesin saja, Andre merogoh kocek Rp 500 juta. “Balik modal sekitar dua tahun,” kata pria kelahiran Bandung, 4 Februari 1984 ini.

Jalur pemasaran produk kaus lokal hampir sama. Kebanyakan memiliki toko online sehingga barang bisa dipesan dari berbagai lokasi. Ada juga produk yang dijual di gerai offline melalui jalur keagenan atau reseller.

Dirtworks misalnya, punya tujuh reseller di Indonesia dan Malaysia yang sudah dibagi per wilayah. Jadi ketika ada pemesanan ke websitenya www.dirtworksmtb.com, Kiki akan mengarahkan pembeli untuk memesan melalui agen.

Dus, para pemain di usaha ini biasanya fokus dalam memproduksi kaus. Di satu sisi, biaya produksi bisa ditekan karena karyawan yang dibutuhkan tidak terlalu banyak. Kini, Andre memperkerjakan 12 karyawan untuk bagian produksi. Sementara, Kiki hanya butuh delapan orang karyawan.

Di sisi lain, para produsen ini jadi bergantung pada reseller yang berperan sebagai ujung tombak penjualan. Harga jual di pasaran menjadi sangat kompetitif karena produsen berusaha meningkatkan margin keuntungan para agen.

Andre pun mengusahakan margin untuk reseller cukup tinggi, sekitar 25%. “Agar mereka memprioritaskan produk saya di gerai mereka,” kata Andre. Sedang Kiki memperbolehkan reseller mengambil untung Rp 50.000 dari tiap produk Dirtworks yang laku terjual.

Strategi branding yang dilakukan produsen kaus juga tak jauh berbeda. Masing-masing produsen mensponsori atlet atau tim pesepeda lewat produk kaus mereka. Kiki misalnya, sekarang mendukung tim pesepeda Polygon dan tim asal Prancis dengan menyediakan kaus Dirtworks untuk digunakan saat berkompetisi.

Hal yang sama dilakukan Andre. Baru-baru ini, ia bekerja sama dengan Garuda Indonesia sebagai sponsor untuk atlet cilik yang bertanding di ajang BMX di Selangor, Malaysia. “Selain branding, dukungan ini dibutuhkan oleh atlet untuk lebih bersemangat dalam mengikuti kompetisi,” tandas Andre.


Produsen kian banyak, waspadai produk impor

Lantaran prospek usaha menggiurkan, jumlah produsen pakaian olahraga (jersey) lokal memang semakin bertambah. Itu berarti, tingkat persaingan semakin kencang. Namun jangan takut, masih ada celah dalam usaha ini. Apalagi, mayoritas produsen berasal dari Pulau Jawa, sementara penggemar olahraga sepeda tersebar di banyak tempat, bahkan sampai luar negeri.

Bagja Waluya, Manager Hardside, menuturkan persaingan dalam usaha ini masih longgar karena merek jersey lokal belum banyak. Yang banyak adalah produsen jersey yang membuat replika brand impor.

Menurut Andre Firmansyah, owner PT SAB Indo Industry, persaingan usaha sudah mulai ketat karena hampir setiap tahun produsen baru pasti muncul. Namun, menurut dia, yang perlu diwaspadai adalah perusahaan jersey impor. “Kalau bisa, produsen lokal berlomba untuk menyaingi produsen dari luar negeri karena sebenarnya itulah yang harus dianggap sebagai kompetitor,” tandasnya.

Adapun Kiki Bimasakti, pemilik Dirtworks, bilang jersey merek impor bukanlah saingan karena dari segi harga, bedanya sangat jauh dari jersey lokal. Bila jersey lokal dipasarkan dengan harga rata-rata Rp 200.000 per potong, jersey impor bisa mencapai Rp 800.000 per piece.

Dalam memproduksi jersey lokal, tantangan juga muncul dari produk dari China. Kiki mengatakan, jersey dari China bisa dijual dengan harga yang sangat murah sehingga bisa merusak harga pasaran. “Kalau saya hitung-hitung, harga jual jersey dari China bisa lebih murah dari biaya produksi jersey Dirtworks. Di sinilah tantangannya supaya customer diedukasi untuk mengapresiasi merek lokal dan tetap memperhatikan kualitas,” ujar Kiki.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×