Bahan Bakar Alternatif Ini Lebih Murah dan Ramah Lingkungan

biomass pelet
Sumber :
  • VIVAnews/Daru Waskita
VIVAnews
Mahfud MD Blak-blakan Soal Langkah Politik Berikutnya Usai Pilpres 2024
- Harga bahan bakar minyak (BBM) kian mahal. Sebentar lagi, menurut prediksi, pemerintah pun akan menaikkan harga BBM bersubsidi demi mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015.

Ekonomi Global Diguncang Konflik Geopolitik, RI Resesi Ditegaskan Jauh dari Resesi

Dampak kenaikan harga BBM selalu menyakitkan dan memberatkan masyarakat, terutama bagi kehidupan kalangan menengah ke bawah.
5 Orang jadi Tersangka Baru Korupsi Timah, Siapa Saja Mereka?


Berangkat dari kondisi tersebut, warga masyarakat di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata mengembangkan bahan bakar alternatif.


Masyarakat memanfaatkan berbagai bahan aneka limbah pabrik yang sudah tak berguna, kemudian diubah menjadi bahan bakar ramah lingkungan yang mereka beri nama biomass pelet.


Selain ramah lingkungan, bahan bakar ini juga sangat murah dan lebih hemat dibanding dengan menggunakan BBM. Sebagian besar warga dusun di wilayah desa ini pun kini memanfaatkannya untuk memasak.


Ayus Dodi Kirana selaku pengembang energi alternatif, menyatakan bahwa sejauh ini pihaknya memakai bahan dari limbah pabrik rokok berupa debu tembakau yang kemudian dicampur dengan serbuk kayu dari limbah penggergajian kayu, ampas tebu dari limbah pabrik gula, dan limbah serbuk uang kertas yang sudah rusak dari Bank Indonesia.


"Dari bahan-bahan limbah pabrik itu kami olah, kemudian kita beri nama biomass pelet," ujar Ayus Dodi Kirana, yang juga merupakan Direktur Pemasaran PT Greeno Inovasi Energi itu.


Menurut dia, limbah-limbah ini dicampur dengan komposisi tertentu, setelah itu dibentuk menjadi pelet dengan panjang 2cm.


"Agar bisa lengket kami campur sedikit dengan gaplek sebagai perekat," kata Ayus.


Menurut dia, sisa pembakaran bio mass pelet ini, berupa asap dan abu juga lebih rendah. Bahkan jika ditaburkan dilahan bisa menjadi pupuk organik jadi sangat ramah terhadap lingkungan.


"Kalau bicara kalori dari olahannya memang tidak terlalu panas, tapi sudah cukup jika untuk menggantikan arang," katanya.


Ayus mengaku mengaku baru mengembangkan energi alternatif ini lima tahun lalu. Kapasitas produksi saat ini mencapai 5 ton tiap harinya. Hal ini karena bahan baku yang berlimpah jadi produksi bisa maksimal. Namun pihaknya juga sedang menjajakan distribusi penjualan baru. Sebab permintaan sudah sangat banyak

khususnya untuk ekspor.


"Harga untuk di Indonesia mencapai Rp 2.500 per kilogramnya, sedangkan untuk ekspor US$140 per ton," kata Ayus.


Karena penggunaannya sedikit berbeda, maka pihak produsen memang mengambangkan kompor khusus.


"Jadi penjualannya memang satu paket dengan kompornya," kata dia. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya