Moskow (ANTARA News) - Presiden Rusia Vladimir Putin dan Kanselir Jerman Angela Merkel membahas pentingnya mempertahankan gencatan senjata di Ukraina dalam percakapan telepon, kata Kremlin dalam satu pernyataan Senin.

"Perkembangan situasi Ukraina telah dibahas, termasuk pemeliharaan secara teliti gencatan senjata oleh para pihak dalam konflik antar-Ukraina dan pemantauan gencatan senjata yang efisien atas nama Organisasi untuk Keamanan dan Kerja sama di Eropa (OSCE)," kata pernyataan itu, lapor Reu.

Laporan-laporan AFP dari Kiev sebelumnya mengatakan, ketegangan-ketegangan terkait soal Ukraina memburuk setelah Kiev menuduh Kremlin berusaha "menghapus" bekas negara Soviet yang kini pro Barat tersebut, sementara itu Moskow menuding Washington mengatur krisis semuanya.

Kiev dan Moskow saling menyalahkan pada Sabtu di tengah-tengah Barat memberlakukan sanksi atas Rusia dan gencatan senjata yang telah berlangsung sembilan hari diuji oleh pertempuran selama beberapa jam untuk menguasai bandar udara strategis di bagian timur Ukraina.

Rusia memicu ketegangan lagi dengan mengirim konvoi 220 truk ke wilayah yang dikuasai pemberontak. Dikatakannya konvoi itu membawa bantuan tetapi tak pernah diperiksa oleh para pemantau Eropa atau tentara Ukraina di perbatasan.

Perdana Menteri Ukraina Arseniy Yatsenyuk menyeru para pemimpin dunia jangan percaya kepada Presiden Rusia Vladimir Putin kendati keputusannya untuk Moskow menandatangani satu gencatan senjata mengakhiri perang lima bulan yang telah merenggut lebih 2.700 jiwa.

Perjanjian perdamaian yang dimediasi Eropa dan ditandatangani Kiev dengan Moskow dan dua pemimpin pemberontak telah membantu situasi tenang dari pertempuran di wilayah timur Ukraina yang secara ekonomi vital.

Tetapi baik Eropa dan Amerika Serikat masih curiga akan maksud Putin dan masih menunggunya untuk menarik 1.000 tentara yang mereka klaim telah membantu pemberontak menguasai wilayah pada hari-hari menjelang gencatan senjata.

Moskow tidak hanya membantah memberikan dukungannya bagi para pemberontak, tetapi juga menuding Washington menyokong protes-protes Februari yang menggulingkan pemimpin pro Kremlin dan membawa satu tim baru untuk menjadi anggota Uni Eropa dan sekarang berusaha menjadi anggota NATO.

Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengecualikan langkah-langkah pengetatan sanksi-sanksi AS yang sudah berlaku, dan untuk pertama kali menyasar dua perusahaan minyak swasta dan juga perusahaan gas alam raksasa Gazprom.

Lavrov menuduh Washington "mencoba menggunakan krisis di Ukraina untuk memutus hubungan ekonomi antara EU dan Rusia dan memaksa Eropa membeli gas AS dengan harga lebih tinggi."


Penerjemah: Askan Krisna

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014