MTI: Pemerintahan Baru Sulit Bangun Infrastruktur Jika Pertahankan Subsidi
Senin, 1 September 2014 | 19:14 WIBYogyakarta - Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit mengatakan, pemerintahan baru yang dipimpin Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dipastikan kesulitan untuk menjalankan janji kampanye untuk membangun infrastruktur, transportasi pubik dan perumahan rakyat dalam dua tahun ke depan apabila tidak mengurangi beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) di APBN.
Sebab, belanja modal untuk pembangunan infrastruktur hanya 7 persen dari total APBN. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan solutif untuk mengatasi hal tersebut.
"Pak Jokowi kemungkinan tidak bisa merealisaikan janji kampanyenya karena terbebani dengan subsidi BBM. Sehingga dibutuhkan mencari ide liar dan ide besar karena Jokowi berharap setiap 3 bulan ada target yang bisa dicapai," kata Guru Besar Jurusan Teknil Sipil Universitas Gadjah Mada ini dalam diskusi bertajuk "Jalan Kemandirian Bangsa, Perubahan untuk Indonesia Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian di Pusat Studi Trasnportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Yogyakarta, Senin (1/9).
Dalam siaran pers yang diterima SP, selain terbebani dengan besarnya alokasi subsidi BBM yang selama ini tidak tepat sasaran, pemerintah Jokowi-JK nantinya, menurut Danang, juga dihadapkan pada minimnya anggaran pembiayaan pemeliharaan infrastruktur. Danang berpendapat, biaya pemeliharaan infrastruktur justru lebih besar dibandingkan dengan biaya investasi untuk membangun infrastruktur. "Biaya pemeliharaan itu sekitar 60 persen, sementara investasi itu hanya 40 persennya saja," katanya.
Menghadapi dilema tersebut, terangnya, pemerintah yang baru mendatang diharuskan mencari terobosaon untuk menutupi pembiayaan di tengah tuntutan pertumbuhan ekonomi yang sangat besar yang diamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang RPJP . "Selain memenuhi janji kampanye, Jokowi diharuskan menjalankan amanat RPJP untuk membangun 6.000 kilometer jalan baru, 3.750 km rel kereta api baru, 20 pelabuhan udara baru, dan penambahan 45 persen tranportasi publik di perkotaan," terangnya.
Di bidang infratruktur, menurut Danang, dua persoalan penting yang selama ini jadi kendala bagi pemerintah yakni investasi tidak tepat sasaran dan inefisiensi proyek. "Banyak terjadi inefisiensi proyek karena korupsi. Ke depan harus tepat sasaran dan efisiensi," ujarnya.
Pengamat ekonomi UGM Mudrajad Kuncoro mengatakan, tantangan yang dihadapi kabinet baru mendatang adalah pertumbuhan ekonomi yang belum berada pada jalur yang benar karena 'kue pembangunan' hanya dinikmati oleh 40% golongan pendapatan menengah dan 20% golongan pendapatan teratas. Sementara 40% dari golongan masyarakat berpendapatan terendah yang seharusnya menikmati pembangunan jutru mengalami penurunan hingga 16,88%.
Tidak hanya itu, tambah Mudrajat, biaya logistik nasional saat ini hanya 27% dari Produk Domestik Bruto dan belum memadai kualitas pelayanannya. Bahkan tingginya biaya logistik nasional menjadi kendala dalam pengembangan bisnis di Indonesia.
Mudrajad menjelaskan, struktur PDB Indonesia hingga triwulan II tahun 2014 masih didominasi 58,7 % provinsi-provinsi di Pulau Jawa, diikuti sumatera 23,7%. Sementara Kawasan Timur Indoensia masih banyak mengandalkan sektor primer sekitar 17,6%. "Ada kecenderungan pendapatan per kapita yang tinggi terpusat pada daerah provinsi yang kaya sumber daya alam serta daerah yang padat penduduk," katanya.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News
Ikuti terus berita terhangat dari Beritasatu.com via whatsapp
BERITA TERKAIT
BERITA LAINNYA
B-FILES
Usaha Pencegahan Stunting dari Hulu ke Hilir Melalui Penetrasi Teknologi Akuakultur pada Budidaya Ikan
Luciana Dita Chandra MurniAnak Blasteran
Paschasius HOSTI PrasetyadjiMengatasi Masalah Kesehatan Wanita Buka Peluang Tingkatkan Kehidupan dan Perekonomian
Raymond R. Tjandrawinata