kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Meraup omzet lezat di bubur organik


Jumat, 25 Juli 2014 / 15:43 WIB
Meraup omzet lezat di bubur organik
ILUSTRASI. 3 Cara Mengatasi Lupa Password Laptop Windows 10 dengan Mudah


Reporter: Sri Sayekti | Editor: Tri Adi

Bubur bayi menjadi makanan pendamping ASI alias air susu ibu bagi bayi di atas usia 6 bulan. Namun, membuat bubur sendiri bagi sebagian besar ibu terasa merepotkan. Padahal, mereka ingin memberikan asupan yang bergizi dan terbaik untuk si buah hati. Bubur instan jelas bukan pilihan tepat karena mengandung pengawet dan bahan kimia lainnya.

Situasi ini menjadikan usaha bubur organik buat bayi dan balita berkembang pesat. Siapa sangka usaha bubur yang hanya dijual setiap pagi dengan waktu berjualan tak sampai 2 jam bisa menghasilkan omzet ratusan juta rupiah per bulan.

Simak pengalaman Nadya Juwita Ayu, pemilik bubur bayi organik Bebi Luck, dan Mardiastuty, pemilik bubur organik Brainy, yang juga dikenal dengan bubur Hajah Dias.

Kedua ibu ini mengawali kiprah bisnisnya dengan menjajakan bubur biasa, alias belum organik. Mardiastuty yang akrab dipanggil Dias mengawali usaha buburnya sejak tahun 2003. Namun baru sekitar 2 tahun lalu, Dias memutuskan membuat bubur dari beras organik, baik beras putih maupun beras merah. Alasan dia mengubah produknya, ”Karena kemajuan teknologi pangan dan masyarakat sudah berorientasi ke gizi, mereka tidak mau tercemar bahan kimia.”

Sedang Nadya memulai usahanya secara tidak sengaja pada 2009. Semula, ia ingin membuat bubur untuk anaknya yang kembar. Bubur buatan Nadya sempat dicicipi anak tetangganya yang sulit makan. Siapa sangka, si upik di rumah sebelah Nadya doyan dengan bubur buatannya. Tetangga Nadya pun rutin memesan setiap hari.


Mesin pengering

Nadya lalu memulai usahanya dengan modal Rp 250.000. Namun saat itu, ia masih memakai beras biasa, dan belum menggunakan merek. Di hari-hari pertamanya berbisnis, bubur racikan Nadya yang harganya Rp 2.500 per porsi bisa terjual hingga 150 porsi.

Setelah setahun berbisnis bubur bayi, Nadya berekspansi dengan membuka cabang. Ia juga menawarkan sistem franchise dengan investasi Rp 2 juta dan mengenakan royalty fee. Namun tiga bulan berselang, beberapa mitranya malah menipu. Pengalaman buruk itu menjadi alasan Nadya mengubah konsep bisnisnya menjadi kemitraan. Dalam skema itu, mitra wajib membeli bahan baku dari Nadya, namun tidak perlu membayar royalty fee.

Mulai awal tahun 2011, Nadya mengenakan merek Bebi Luck untuk bubur bayi buatannya. Lalu, pada bulan Meli 2011, Nadya menggunakan beras organik, sayur organik, dan ayam organik di produknya.

Perubahan produk itu ia lakukan setelah mafhum tentang karakter produk, hasil dari mengikuti acara di Malaysia, “Suatu produk akan terus eksis jika memenuhi dua hal, yaitu usia produk sudah mapan, artinya lebih dari 1 tahun, dan kemasannya bagus,” ujar dia.

Nadya pun langsung memikirkan kemasan bubur organik Bebi Luck agar bisa eksis dan terus bersaing. “Kami bisa disebut sebagai pionir bubur organik dan pionir franchise bubur, hingga kami percaya diri mampu bersaing,” jelas Nadya.

Sistem kemitraan dengan membeli bahan baku ke pusat dimaksudkan agar ada keterikatan antara mitra dan pusat. Saat awal menawarkan kemitraan, jumlah investor mencapai 30 orang per bulan. Kini, mitra penjual Bubur Organik Bebi Luck mencapai 200 orang yang tersebar di kawasan Jabodetabek dan berbagai kota di pulau-pulau besar.

“Kami sempat dua kali menutup kemitraan, karena kami harus menyesuaikan dengan beban kerja dan kemampuan kami,” jelas Nadya.

Lantas, bagaimana produk yang cepat basi, seperti bubur bisa menjangkau hingga ke kota di luar Pulau Jawa? Hal itu bisa terjadi karena sejak Agustus 2013, Bebi Luck dijual ke mitra dalam kemasan yang siap dimasak dengan slow cooker. Sayuran dan lauk lainnya seperti ayam, daging, ikan sudah dikeringkan dengan mesin pengering. “Kami investasi sekitar Rp 500 juta untuk membeli serangkaian mesin pengering yang berada di pabrik kami di kawasan Cileduk, Tangerang,” tutur Nadya.

Paket kemitraan Bebi Luck ada dua macam: Rp 15 juta dan Rp 12,5 juta. Isi paket mencakup tiga macam, yakni alat masak, alat penjualan, dan alat promosi. Mitra membeli bahan baku untuk paket bubur seharga Rp 27.500 yang berisi 15 porsi. Seporsi bubur Bebi Luck dijual seharga Rp 3.000. Artinya, mitra mengantongi keuntungan kotor sekitar Rp 1.100 per porsi. Kini, dengan mitra aktif tercatat 200 orang, omzet penjualan Bebi Luck mencapai Rp 300 juta per bulan. “Keuntungannya sekitar 25%,” ujar Nadya.


Titip wadah

Strategi berbeda ditempuh Dias untuk memasarkan bubur buatannya. Saat awal berbisnis, Dias menggunakan kartu antrean bagi calon pembeli yang datang langsung mengambil bubur buatannya di rumahnya, daerah Kayumanis, Jakarta Timur. Setelah usahanya berkembang, Dias memiliki 22 dapur yang tersebar di Jabodetabek. Sistem penjualan tidak lagi memakai kartu antrean, melainkan para pelanggan menitipkan wadah bubur masing-masing setiap hari. Saat dapur buka, pembeli tinggal mengambil. Tak heran, waktu berjualan bubur organik Dias terbilang singkat, berkisar 1,5 jam–2 jam. “Pelanggan bubur organik ini sudah rutin,” tutur Dias.

Ia berkerjasama dengan pihak ketiga, yang disebut mitra penjual, untuk memasarkan produknya. Namun kendati bernama mitra, mereka tetap membeli putus dari Dias. Keuntungan yang dinikmati mitra penjual bubur Brainy berkisar Rp 1.000 untuk bubur dan nasi tim dan Rp 250 untuk puding dan sari buah. Satu porsi bubur organik Brainy dijual seharga Rp 3.000, nasi tim seharga Rp 7.000, puding dan sari buah seharga Rp 2.000.

Menurut Dias, satu kilogram beras organik bisa dibuat menjadi 40 porsi bubur. Setiap dapur milik Dias mampu memasak sebanyak 450 hingga 500 porsi per hari. Dengan jumlah 22 dapur, maka setiap hari ada 9.900 porsi bubur Brainy terjual. Artinya dalam sebulan ada 297.000 porsi bubur Brainy terjual. Itu berarti, omzet bubur Brainy Rp 594 juta per bulan.

Perkembangan bisnis bubur Brainy kini berada di tangan Dias dan kedua putranya. Menantu Dias yang seorang dokter juga turut ambil bagian.

Baik Bebi Luck maupun Brainy tidak sekadar mengklaim sebagai bubur organik. Keduanya sudah menguji produknya ke laboratorium, sehingga konsumen yakin akan kualitasnya. Dias, misalnya, telah mendapat izin Nomor 31 Tahun 2007 dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Timur.

Prospek bisnis bubur organik untuk bayi, menurut Dias dan Nadya, cerah. “Kesadaran masyarakat terhadap gizi sudah tinggi, cuma masih banyak yang malas repot,” ujar Dias.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×