Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan Bendahara Umum Setya Novanto, kompak untuk mengacuhkan pesan singkat (SMS) mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) Jawa Timur dalam kondisi gawat.

"Saya bertemu Zainuddin Amali saat rapat fraksi sekitar akhir September 2013. Saya ucapkan selamat karena sudah menang di (pilkada) Jatim. Pak Amali mengatakan Iya tapi saya dapat SMS dari Pak Akil bahwa Jatim agak gawat. Lalu saya jawab Pak ketua apanya yang gawat? Karena setahu saya kemenangan Sukarwo dan Saifullah Yusuf itu lebih dari 1 juta suara, jadi tidak ada yang gawat. Maka saya sampaikan apa yang terkait SMS itu tidak usah ditanggapi dan diam saja," kata Idrus dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.

Idrus menyampaikan hal tersebut dalam sidang pemeriksaan saksi dengan terdakwa Akil Mochtar dalam perkara dugaan korupsi pilkada di berbagai daerah.

Padahal dalam sidang pada Senin (14/4), ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus ketua bidang pemenangan pemilu Jawa Zainuddin Amali mengakui ada percakapan Blackberry Messanger (BBM) antara dirinya dengan Akil terkait pilkada Jatim.

Isi percakapan itu adalah Akil meminta untuk menyiapkan Rp10 miliar, kalau tidak maka pilkada Jatim akan diulang. Akil juga menyaakan kekecewaannya karena merasa dibohongi oleh Idrus karena awalnya bersedia menyatakan dana melalui Setya Novanto dan Nirwan B. Sayangnya sebelum kesepakatan tersebut tidak terlaksana, penyidik KPK menangkap Akil bersama dengan politisi Golkar lain, Chariun Nisa bersama pengusaha Cornelis Nalau yang datang ke rumah dinas Akil untuk mengantarkan uang suap terkait Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Idrus juga mengaku bahwa Akil tidak meminta uang.

"Tidak ada permintaan uang," kata Idrus.

"Tapi di BAP (Berita Acara Penyidikan) Anda mengatakan bertemu Pak Amali saat rapat fraksi. Pak Amali kasih tahu SMS Pak Akil yang meminta uang terkait sengekta pilkada Jatim di MK,? Ini bagaimana?" tanya jaksa KPK.

"Itu yang saya maksudkan gawat, Pak Amali menyampaikan itu gawat, yang benar yang gawat itu, saya ingin tegaskan bahwa Pak Amali tidak memperlihatkan SMS ke saya dan hanya pembicaraan Jawa Timur gawat," jawab Idrus meralat keterangannya di BAP.

Senada dengan Idrus, Setya Novanto juga melarang agar Zainuddin Amali mengurus terkait pilkada Jatim.

"Pak Idrus menyampaikan itu, saya langsung larang, gak usah diurus-urus itu lagi lah, benar kata Pak Sekjen, dan tidak ada permintaan uang dari Akil," kata Setya Novanto yang juga menjadi saksi dalam sidang tersebut.

"Dalam BAP Anda mengatakan hubungan dengan Akil tidak baik karena banyak perkara di MK yang banyak yang tidak dimenangkan Golkar?," tanya jaksa.

"Itu betul, karena sepengetahuan saya banyak yang kalah," jawab Setya.

Idrus pun membantah pernah mendatangi rumah Akil untuk membahas pilkada Jatim.

"Saya pernah ke rumah Pak Akil untuk bicarakan tentang uji materi UU No 17 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 tentang BPK. Saya bertemu Pak Akil sekitar jam 9, tapi karena Pak Akil mengatakan capai dan habis sakit ditambah menyatakan judicial review masih masih lama maka pertemuan hanya 5 menit dan saya pulang," kata Idrus.

KPK mendakwa Akil menerima Rp63,315 miliar sebagai hadiah terkait pengurusan sembilan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK, Rp10 miliar dalam bentuk janji untuk satu sengketa pilkada, serta pencucian uang dengan menyamarkan harta sebesar Rp161 miliar pada 2010-2013 dan harta sebanyak Rp22,21 miliar dari kekayaan periode 1999--2010.

Kasus-kasus yang didakwakan kepadanya yaitu kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), kabupaten Lebak (Rp1 miliar), kabupaten Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS), kota Palembang (Rp19,9 miliar), kabupaten Lampung Selatan (Rp500 juta), kabupaten Buton (Rp1 miliar), pilkada kabupaten Pulau Morotai (Rp2,99 miliar),

pilkada kabupaten Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar), pilkada Banten (Rp7,5 miliar) dan janji untuk memberikan Rp10 miliar dari sengketa pilkada Provinsi Jawa Timur.

(D017/R021)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014