Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Marah yang Bijak, Panduan Islami Menjadi Orang Tua Bijak

Marah yang Bijak, Panduan Islami Menjadi Orang Tua Bijak

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Marah yang Bijak, Panduan Islami Menjadi Orang Tua Bijak".
Cover buku “Marah yang Bijak, Panduan Islami Menjadi Orang Tua Bijak”.

Judul: Marah yang Bijak, Panduan Islami Menjadi Orang Tua Bijak
Penulis : Bunda Wening
Penerbit: Tinta Medina (Tiga Serangkai)
Cetakan: Pertama, 2013
Tebal: 107 halaman
ISBN: 978-602-9211-77-1

Panduan Islami Menjadi Orang Tua Bijak

dakwatuna.com – Menjadi bunda itu takdir dan menjadi bunda yang bijak itu pilihan. Mengetahui bijaksananya seseorang itu bisa kita lihat dari bagaimana cara dia menyelesaikan masalah. Misalnya bagi orang tua ingin mengetahui dirinya apakah dia merupakan orang tua bijak atau tidak, bisa kita perhatikan ketika dia mengatasi anaknya yang melakukan perbuatan yang tidak diinginkan orang tua. Kalau orang tuanya mengatasi anaknya dengan kemarahan bahkan wujudnya marahnya dilampiaskannya tidak hanya perkataan tetapi juga dengan perbuatan seperti memukul atau menjewer. Maka, dipastikan orang tua tersebut tidak bijak menangani anak tersebut. Berbeda kalau orang tua tersebut menyikapi anak tersebut dengan sebuah pemahaman atau pengertian untuk memutuskan sebuah pilihan antara baik dan benar. Maka, secara otomatis seorang anak itu akan berpikir yang mana saja yang bermanfaat bagi dirinya dan yang mana saja yang merugikan bagi dirinya.

Menjadi orang tua bijak tidak bisa jadi secara instan. Semuanya proses dan tahapan-tahapan secara khusus. Maka, oleh sebab itulah buku setebal 107 halaman yang ditulis oleh bunda Wening ini memberikan panduan islami menjadi orang tua bijak dalam mendidik anak.

Bunda Wening dalam hal ini memberikan assessment atau taksiran dari sebuah tindakan yang kita lakukan terutama marah dalam bentuk tabel kepada orang tua. Tujuan dari assessment itu adalah alat untuk merefleksi kembali apakah tujuan dan hasil dari marah itu berdampak positif atau sebaliknya. Hasil dari assessment menunjukkan bahwa tujuan marah mereka terhadap anak adalah “supaya anak nurut, supaya anak tidak mengulangi lagi, dan supaya anak takut”.

Tahukah Anda bahwa penulis dalam hal ini pernah melakukan interview singkat terhadap beberapa anak usia 4-8 tahun tentang apa yang mereka rasakan atau pendapat mereka atas kemarahan orang tua terhadap mereka. Hasilnya mereka menjawab sakiit!!, rasanya kaya orang stress… mikir terus…. dan ketika ditanya apa sih tujuan orang tua memarahi kamu?? Mereka menjawab biar nggak ‘ngeyel’ (bahasa jawa) yang artinya nggak setuju. Dan ketika ditanyakan kepada orang tua apakah anak ayah bunda menjadi menurut setelah dimarahi? Maka, jawaban dari orang tersebut adalah tetap tidak menurut bahkan anak mereka malah merespon dengan tangisan dan teriakan dan mereka tetap mengulangi perilaku yang sama di waktu yang berbeda (hal. 24-25).

Jadi, kalau pola mengasuh anak masih dengan metode marah dan hasil yang diharapkan agar anak menurut masih belum teratasi, apakah tetap para orang tua memakai cara marah dalam mengatasi masalah? Kalau metode itu tetap dibiarkan, maka anak juga akan secara otomatis menyelesaikan masalah dengan marah dan juga kalau orang tua menganggap marah adalah wujud kasih sayang pada anak. Maka kelak anak pun akan belajar menyayangi dengan kemarahan.

Di akhir buku ini kita akan dibimbing oleh penulis dalam mengatasi anak tanpa marah. Contohnya ketika ada anak yang menangis dan berteriak sekencang-kencangnya minta dibelikan sesuatu oleh ibunya. Karena tidak mau anak itu menangis terus maka, ibu tersebut mewujudkan keinginan anaknya. Nah, pertanyaannya…. apakah masalah tersebut terselesaikan dengan cara begitu? Menurut penulis bahwa perilaku merengek dan berteriak meminta sesuatu sebagai suatu usaha mendapatkan yang diinginkan tercapai, maka di lain waktu lagi anak tersebut akan melakukan hal yang sama untuk mewujudkan keinginannya.

Dalam hal ini bunda memberikan solusi dengan melalui 2 cara. Pertama, pencegahan yaitu ketika akan pergi seorang ibu dituntut untuk melakukan kesepakatan dengan anak misalnya kalau anak mau coklat dan es krim. Maka, kita harus ambil kesepakatan dengan anak kita apakah dia mau coklat saja. Kalau oke, Kita konsisten terhadap apa yang Anda dan anak anak Anda sepakati. Walaupun ketika di warung dia tetap menginginkan coklat dan es krim. Kedua, penanganan. Kalau anak rewel dan minta lebih dari kesepakatan, maka orang tua kembali mengingatkan kepada anak dengan suara yang sedang dan ekspresi yang hangat bahwa kesepakatan sebelumnya hanya minta coklat. Jika cara tersebut dilakukan, maka insya Allah anak tidak akan melakukan perilaku itu lagi (hal 73-77).

Selain kasus tersebut, masih banyak lagi kasus dan penanganan yang bijak yang diberikan penulis. Di antaranya, anak yang tidak sengaja memecahkan gelas, anak minta jajan berlebihan, kakak adik bertengkar, dan lain-lain. Maka, oleh sebab itulah temukan cara mendidik anak yang bijak dan islami di buku ini.

Selamat membaca….

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Pengajar di SD IT Tarbiatul Aulad, tinggal di Barabai, Kalimantan.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization